MAJLIS TAKLIM
WADDA’WAH
LIL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS
====================================================================
SEJARAH PENGAJARAN AL-QURAN
Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur-an. Kaum muslimin di belahan dunia manapun berusaha di bulan yang penuh berkah ini untuk membaca dan menghatamkan Al Quran. Masjid dan mushalla menjadi semarak dengan pengajian dan tadarus Al-Quran. Pagi, siang, sore, malam, kaum muslimin larut dalam bacaan Al-Quran. Ya, Ramadhan memang identik dengan Al-Quran. Sebab, di bulan inilah kitab suci paling utama ini diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran surat Al Baqarah 185 (yang artinya):”Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”.
Disamping mengkaji dan mandalami kandungan Al-Quran, tentu sangat membahagiakn jika selama Ramadhan kita bisa menghatamkan AL-Quran berkali-kali. Sebab, setiap huruf Al-Quran yang dibaca akan menghasilkan 10 kebajikan. Bisa dibayangkan, berapa jumlah pahala yang akan diperoleh jika kita menghatamkan Al Quran.
Apalagi di bulan Ramadhan, ketika setiap kebajikan yang dilakukan pahalanya dilipatgandakan berpuluh bahkan beratus kali lipat. Belum lagi ditambah keistimewaan yang dijanjikan Rasulullah SAW atas orang yang menghatamkan Al-Quran doanya saat hataman diamini 50.000 malaikat. Sungguh luar biasa!.
Namun, untuk menghatamkan Al-Quran tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain harus mengenal dengan baik huruf-huruf Hijaiyah, tentu juga dibutuhkan ketrampilan tersendiri agar dapat membaca Al-Quran secara tartil alias baik, benar, dan lancar.
Sebutan “bacaan yang baik” memiliki banyak aspek. Selain etika dalam membaca Al-Quran, kata “baik” juga menyangkut sikap terhadap Al-Quran. Dalam membaca Al-Quran, seorang muslim tak sekadar menetapi prasyarat seperti suci badan, pakaian, dan tempat, tappi juga berusaha menyucikan hati dan perasaan. Agar, saat membaca Al-Quran, yang muncul di hati adalah perasaan cinta dan penuh kerinduan kepada Sang Pemillik Al-Quran.
Karena Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), membacanya berarti berdialog dengan Allah SWT. oleh karena itu kita hendaknya membacanya secara baik dan benar, sehingga dapat merasakan bahwa setiap rangkaian hurufnya merupakan untaian syair cinta dari Sang Khaliq yang penuh hikmah dan kedalaman untuk makhluk-Nya.
Adapun ungkapan “benar” terkait masalah tajwid, yaitu hukum bacaan Al-Quran. Benar dalam membaca Al-Quran berarti benar dalam mengucapkan huruf sesuai makhraj (pengucapan, palafalan), benar dalam memanjang-pendekkan bacaan sesuai madnya, dan benar dalam mendenung-tidakkan sambungan huruf sesuai hukum bacaannya. Benar juga berarti harus tahu bagian bacaan mana yang boleh berhenti (waqaf) dan lanjutnya (wasal), atau berhenti tapi tidak boleh mengambil nafas (saktah).
Sementara sebutan “lancar” dalam membaca AL-Quran menyangkut ketekunan dalam berlatih membaca. Semakin sering membaca Al-Quran, akan semakin mengalir dan merdu pula irama bacaan kita. Semakin lancar kita membaca Al-Quran, semakin cepat pula proses penghatamannya. Dan semakin cepat khatam dan mengulangnya lagi dari awal, semakin banyak pula kesempatan kita memperoleh pahala khataman Al-Quran.
Dalam rangka mendidik umat Islam agar mampu membaca Al-Quran dengan baik, benar, dan lancara itulah, para ahli Quran (sebutan bagi mereka yang menguasai rahasia Al-Quran) membuka pengajaran membaca Al-Quran. Dua-duanya, baik yang belajar maupun yang mengajar Al-Quran, disebut Nabi sebagai “umat terbaik”. Diriwyatkan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.”(HR. Abu Ubaid).
Tatap Muka dengan Jibril
Sejak kapan proses pengajaran Al-Quran berlangsung? Siapa guru-murid pertama dalam ta’limul Quran ini? Bagaimana perkembangan pengajaran Al-Quran dari masa ke masa? Sebagai firman Allah Ta’ala, yang pertama kali mengajarkan Al-Quran adalah Allah SWT sendiri, kepada Malalikat Jibril. Kapan waktu pengajaran AL-Quran yang pertama kali ini, hanya Allah jualah yang Maha Mengetahui.
Dari Malaikat Jibril, kemudian Al-Quran disampaikan, atau diajarkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW secara talaqqi. Sistem talaqqi, yang juga lazim disebut mushafahah, adalah metode pengajaran di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung, individual, tatap muka, face to face.
Tak hanya mengajarkan ayat-ayat baru, secara rutin Malaikat Jibril juga mengunjungi Nabi untuk memeriksa hafalan dan bacaan beliau. Diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Jibril mengajariku membaca Al-Quran setahun sekali. Dan tahun ini ia telah membacakan Al-Quran dua kali padaku. Aku menduga, ini pertanda ajalku sudah dekat”.(HR. Bukhari).
Kunjungan Jibril diperlukan, sebab ayat-ayat Al-Quran tidak diturunkan sekaligus dalam urutan seperti yang sekarang termaktub dalam mushaf Al-Quran. Al-Quran turun secara berangsur-angsur selama masa kenabian beliau, dengan urutan yang acak sesuai asbabun nuzul (sebab turunnya suatu ayat) sebagaimana telah ditakdirkan Allah SWT. Ayat Al-Quran yang pertama kali turun, yakni ayat 1-5 Surah Al’Alaq, kini menempati urutan surah ke 96 dari jumlah 114 surah yang diturunkan.
Metode Talaqqi dalam pengajaran ayat-ayat yang belum dihafal, dan pengulangan hafalan untuk menguatkan dan melancarkan sebagaimana dicontohkan oleh Malaiakt Jibril dan Rasulullah SAW, itulah yang kemudian menjadi cetak biru (blue print) sistem pengajaran Al-Quran di dunia Islam hingga kini. Di Indonesia, metode talaqqi dikenal dengan sebutan sistem sorogan Al-Quran, untuk membedakannya dengan sorogan kitab kuning.
WADDA’WAH
LIL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS
====================================================================
SEJARAH PENGAJARAN AL-QURAN
Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur-an. Kaum muslimin di belahan dunia manapun berusaha di bulan yang penuh berkah ini untuk membaca dan menghatamkan Al Quran. Masjid dan mushalla menjadi semarak dengan pengajian dan tadarus Al-Quran. Pagi, siang, sore, malam, kaum muslimin larut dalam bacaan Al-Quran. Ya, Ramadhan memang identik dengan Al-Quran. Sebab, di bulan inilah kitab suci paling utama ini diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran surat Al Baqarah 185 (yang artinya):”Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”.
Disamping mengkaji dan mandalami kandungan Al-Quran, tentu sangat membahagiakn jika selama Ramadhan kita bisa menghatamkan AL-Quran berkali-kali. Sebab, setiap huruf Al-Quran yang dibaca akan menghasilkan 10 kebajikan. Bisa dibayangkan, berapa jumlah pahala yang akan diperoleh jika kita menghatamkan Al Quran.
Apalagi di bulan Ramadhan, ketika setiap kebajikan yang dilakukan pahalanya dilipatgandakan berpuluh bahkan beratus kali lipat. Belum lagi ditambah keistimewaan yang dijanjikan Rasulullah SAW atas orang yang menghatamkan Al-Quran doanya saat hataman diamini 50.000 malaikat. Sungguh luar biasa!.
Namun, untuk menghatamkan Al-Quran tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain harus mengenal dengan baik huruf-huruf Hijaiyah, tentu juga dibutuhkan ketrampilan tersendiri agar dapat membaca Al-Quran secara tartil alias baik, benar, dan lancar.
Sebutan “bacaan yang baik” memiliki banyak aspek. Selain etika dalam membaca Al-Quran, kata “baik” juga menyangkut sikap terhadap Al-Quran. Dalam membaca Al-Quran, seorang muslim tak sekadar menetapi prasyarat seperti suci badan, pakaian, dan tempat, tappi juga berusaha menyucikan hati dan perasaan. Agar, saat membaca Al-Quran, yang muncul di hati adalah perasaan cinta dan penuh kerinduan kepada Sang Pemillik Al-Quran.
Karena Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), membacanya berarti berdialog dengan Allah SWT. oleh karena itu kita hendaknya membacanya secara baik dan benar, sehingga dapat merasakan bahwa setiap rangkaian hurufnya merupakan untaian syair cinta dari Sang Khaliq yang penuh hikmah dan kedalaman untuk makhluk-Nya.
Adapun ungkapan “benar” terkait masalah tajwid, yaitu hukum bacaan Al-Quran. Benar dalam membaca Al-Quran berarti benar dalam mengucapkan huruf sesuai makhraj (pengucapan, palafalan), benar dalam memanjang-pendekkan bacaan sesuai madnya, dan benar dalam mendenung-tidakkan sambungan huruf sesuai hukum bacaannya. Benar juga berarti harus tahu bagian bacaan mana yang boleh berhenti (waqaf) dan lanjutnya (wasal), atau berhenti tapi tidak boleh mengambil nafas (saktah).
Sementara sebutan “lancar” dalam membaca AL-Quran menyangkut ketekunan dalam berlatih membaca. Semakin sering membaca Al-Quran, akan semakin mengalir dan merdu pula irama bacaan kita. Semakin lancar kita membaca Al-Quran, semakin cepat pula proses penghatamannya. Dan semakin cepat khatam dan mengulangnya lagi dari awal, semakin banyak pula kesempatan kita memperoleh pahala khataman Al-Quran.
Dalam rangka mendidik umat Islam agar mampu membaca Al-Quran dengan baik, benar, dan lancara itulah, para ahli Quran (sebutan bagi mereka yang menguasai rahasia Al-Quran) membuka pengajaran membaca Al-Quran. Dua-duanya, baik yang belajar maupun yang mengajar Al-Quran, disebut Nabi sebagai “umat terbaik”. Diriwyatkan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.”(HR. Abu Ubaid).
Tatap Muka dengan Jibril
Sejak kapan proses pengajaran Al-Quran berlangsung? Siapa guru-murid pertama dalam ta’limul Quran ini? Bagaimana perkembangan pengajaran Al-Quran dari masa ke masa? Sebagai firman Allah Ta’ala, yang pertama kali mengajarkan Al-Quran adalah Allah SWT sendiri, kepada Malalikat Jibril. Kapan waktu pengajaran AL-Quran yang pertama kali ini, hanya Allah jualah yang Maha Mengetahui.
Dari Malaikat Jibril, kemudian Al-Quran disampaikan, atau diajarkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW secara talaqqi. Sistem talaqqi, yang juga lazim disebut mushafahah, adalah metode pengajaran di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung, individual, tatap muka, face to face.
Tak hanya mengajarkan ayat-ayat baru, secara rutin Malaikat Jibril juga mengunjungi Nabi untuk memeriksa hafalan dan bacaan beliau. Diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Jibril mengajariku membaca Al-Quran setahun sekali. Dan tahun ini ia telah membacakan Al-Quran dua kali padaku. Aku menduga, ini pertanda ajalku sudah dekat”.(HR. Bukhari).
Kunjungan Jibril diperlukan, sebab ayat-ayat Al-Quran tidak diturunkan sekaligus dalam urutan seperti yang sekarang termaktub dalam mushaf Al-Quran. Al-Quran turun secara berangsur-angsur selama masa kenabian beliau, dengan urutan yang acak sesuai asbabun nuzul (sebab turunnya suatu ayat) sebagaimana telah ditakdirkan Allah SWT. Ayat Al-Quran yang pertama kali turun, yakni ayat 1-5 Surah Al’Alaq, kini menempati urutan surah ke 96 dari jumlah 114 surah yang diturunkan.
Metode Talaqqi dalam pengajaran ayat-ayat yang belum dihafal, dan pengulangan hafalan untuk menguatkan dan melancarkan sebagaimana dicontohkan oleh Malaiakt Jibril dan Rasulullah SAW, itulah yang kemudian menjadi cetak biru (blue print) sistem pengajaran Al-Quran di dunia Islam hingga kini. Di Indonesia, metode talaqqi dikenal dengan sebutan sistem sorogan Al-Quran, untuk membedakannya dengan sorogan kitab kuning.
Murid angkatan Pertama
Tradisi Jibril membacakan ayat-ayat Al-Quran secara rutin kepada Nabi SAW, dan memeriksa bacaan secara urutan ayat dan surah yang beliau hafal, kini menjadi tradisi di pesantren-pesantren Al-Quran di Jawa, dan disebut takriran atau nderes.
Ada juga tradisi sema’an, yaitu seorang hafizh (penghafal Al-Quran) menjaga hafalannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran di hadapan orang banyak yang menyimaknya sambil membuka mushaf Al-Quran untuk memeriksa kebenaran bacaan tersebut.
Setelah dua fase pertama – dari Allah ta’ala kepada Malaikat Jibril, dan dari Jibril kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur – dimulailah pengajaran Al-Quran secara umum kepada umat manusia. Urutan orang-orang yang belajar Al-Quran sama persis dengan urutan orang-orang yang masuk Islam. Sebab, ketika menyatakan keislaman, saat itu pula mereka langsung mempelajari ayat demi ayat Al-Quran.
Orang pertama yang belajar dan menghafal ayat-ayat suci Al-Quran setelah Baginda Nabi adalah Sayyidah Khadijah. Lalu disusul oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi), Abu Bakar Shiddiq (sahabat terdekat Nabi), Zaid bin Haritsah (pembantu keluarga Nabi). Abu Bakar kemudian membawa teman-teman dekatnya untuk masuk Islam dan mempelajari Al-Quran. Antara lain, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Mereka itulah murid angkatan pertama madrasah Al-Quran yang didirikan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. Mereka pulalah yang pertama kali merasakan sentuhan sistem pendidikan kenabian yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Melalui qalbu yang bersih angkatan pertama umat Islam inilah, cahaya Al_Quran memancar menerangi alam semesta. Sungguh mereka sangat beruntung.
Ketika jumlah umat Islam di Makkah semakin bertambah, Rasulullah mulai membagi tugas mengajarkan Al-Quran kepada beberapa sahabat yang dipandang memiliki kemampuan lebih. Dalam kitab Thabaqat, karya Ibnu Sa’ad, As-Siyar wal Maghari, karya Ibnu Ishaq, At-Taratib Al-Idariyah, karya Kattani, dan Sirah Ibnu Hisyam, tercatat nama beberapa sahabat yang pernah ditugasi oleh Baginda Nabi untuk mengajar Al-Quran.
Para sahabat yang beruntung itu adalah Abdullah bin Mas’ud, yang mengajar secara umum di Makkah, Khabbah yang mengajar pasangan suami-istri Fatimah bin Khaththab dan Sa’id bin Zaid, dan Mush’ab bin Umair, yang diperintahkan oleh Baginda Nabi untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah beberapa waktu sebelu hijrah. Ada juga nama Rafi’ bin Malik Al-Anshari yang disebut-sebut sebagai sahabat yang pertama kali membawa surah Yusuf ke Madinah, sebelum masa hijrah.
Karena melalui utusan-utusan terpilih, pengajaran Al-Quran dengan sistem pendelegasian itu pun berhasil dengan gemilang. Ketika hijrah ke Madinah, misalnya, Rasulullah SAW diperkenalkan dengan Zaid bin Tsabit, anak berusia 11 tahun yang ketika itu telah menghafal 16 surah Al-Quran. Belakangan, remaja cerdas itu semakin dekat dengan Baginda Nabi, karena dipercaya menjadi salah seorang pencatat wahyu.
Setelah pembangun Masjid Nabawi usai, Rasulullah SAW memerintahkan pembangunan suffah, semacam beranda di samping masjid, dan menjadikannya sebagai pusat pengajaran Al-Quran, sekaligus tempat belajar baca tulis kaum muslimin. Tak kurang dari 900 sahabat mendaftar sebagai murid di suffah tersebut.
Selain Rasulullah SAW yang mengajar Al-Quran, beberapa sahabat lain seperti Abdullah bin Sa’id bin Al-‘Ash, Ubadah bin Ash-Shamit, dan Ubay bin Ka’ab, membantu mengajar AL-Quran dan baca tulis untuk para sahabat yang masih buta huruf. Pengajaran di suffah itu sangat istimewa, karena ditangani langsung oleh baginda Nabi SAW. Abdullah bin Umar memberi gambaran cara Nabi mengajar, “Beliau membacakan Al-Quran kepada kita, setiap kali sampai pada ayat sajdah, yang menyuruh bersujud, beliau mengucap takbir, lalu bersujud.”(HR. Muslim)
Dalam kitab Al-Intishar, karya Al-Baqillani, dikisahkan, Utsman bin Abil’Ash menceritakan, ia selalu ingin mengaji langsung kepada Rasulullah SAW. Jika sedang tidak bisa menemui beliau, Utsman mendatangi rumah Abu Bakar Shiddiq.
Abdullah bin Mughaffal mengisahkan, jika ada orang baru masuk Islam hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW menyuruh salah seorang Anshar menampung di rumahnya dan mengajarinya Al-Quran serta pengetahuan keislaman lainnya.
Dalam kitab Fadhail diriwayatkan oleh Abu Ubaid, para sahabat juga sering berkumpul di masjid untuk saling bertukar ilmu dan mengajarkan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya.
Selain para sahabat di Madinah, juga ada beberapa sahabat ahlul Quran yang dikirim oleh Baginda Nabi ke berbagai daerah untuk mengajar. Misalnya, Mu’adz bin Jabbal, yang dikirm ke Yaman, Abu Ubaid, diutus ke Najran, dan Wabra bin Yuhanna ditugasi ke Shan’a.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu bakar Shiddiq, pengajaran Al-Quran diteruskan oleh para sahabat utama. Saat itu di Madinah dan Makkah saja terdapat ratusan penghafa Al-Quran, yang setiap saat siap membagi pengetahuan mereka. Namun, dalam perang untuk menumpas nabi palsu di Yamamah, hampr ssepertiga dari ratusan penghafal Al-Quran itu gugur sebagai syahid. Peristiwa inilah yang kemudian melatarbelakangi pembukuan Al-Quran ata perintah Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq.
Para penghafal Al-Quran yang tersisa kemudian menurunkan ilmu kepada generasi berikutnya, baik yang tingal di Madinah dan Makkah maupun di kota dan negeri-negeri lain yang baru dibebaskan oleh kaum muslimin. Di antara mereka bahkan ada yang berkelana hingga jauh ke timur, seperti Sa’ad bin Abi Waqash, yang mengembara hingga ke Cina.
Tradisi Jibril membacakan ayat-ayat Al-Quran secara rutin kepada Nabi SAW, dan memeriksa bacaan secara urutan ayat dan surah yang beliau hafal, kini menjadi tradisi di pesantren-pesantren Al-Quran di Jawa, dan disebut takriran atau nderes.
Ada juga tradisi sema’an, yaitu seorang hafizh (penghafal Al-Quran) menjaga hafalannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran di hadapan orang banyak yang menyimaknya sambil membuka mushaf Al-Quran untuk memeriksa kebenaran bacaan tersebut.
Setelah dua fase pertama – dari Allah ta’ala kepada Malaikat Jibril, dan dari Jibril kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur – dimulailah pengajaran Al-Quran secara umum kepada umat manusia. Urutan orang-orang yang belajar Al-Quran sama persis dengan urutan orang-orang yang masuk Islam. Sebab, ketika menyatakan keislaman, saat itu pula mereka langsung mempelajari ayat demi ayat Al-Quran.
Orang pertama yang belajar dan menghafal ayat-ayat suci Al-Quran setelah Baginda Nabi adalah Sayyidah Khadijah. Lalu disusul oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi), Abu Bakar Shiddiq (sahabat terdekat Nabi), Zaid bin Haritsah (pembantu keluarga Nabi). Abu Bakar kemudian membawa teman-teman dekatnya untuk masuk Islam dan mempelajari Al-Quran. Antara lain, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Mereka itulah murid angkatan pertama madrasah Al-Quran yang didirikan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. Mereka pulalah yang pertama kali merasakan sentuhan sistem pendidikan kenabian yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Melalui qalbu yang bersih angkatan pertama umat Islam inilah, cahaya Al_Quran memancar menerangi alam semesta. Sungguh mereka sangat beruntung.
Ketika jumlah umat Islam di Makkah semakin bertambah, Rasulullah mulai membagi tugas mengajarkan Al-Quran kepada beberapa sahabat yang dipandang memiliki kemampuan lebih. Dalam kitab Thabaqat, karya Ibnu Sa’ad, As-Siyar wal Maghari, karya Ibnu Ishaq, At-Taratib Al-Idariyah, karya Kattani, dan Sirah Ibnu Hisyam, tercatat nama beberapa sahabat yang pernah ditugasi oleh Baginda Nabi untuk mengajar Al-Quran.
Para sahabat yang beruntung itu adalah Abdullah bin Mas’ud, yang mengajar secara umum di Makkah, Khabbah yang mengajar pasangan suami-istri Fatimah bin Khaththab dan Sa’id bin Zaid, dan Mush’ab bin Umair, yang diperintahkan oleh Baginda Nabi untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah beberapa waktu sebelu hijrah. Ada juga nama Rafi’ bin Malik Al-Anshari yang disebut-sebut sebagai sahabat yang pertama kali membawa surah Yusuf ke Madinah, sebelum masa hijrah.
Karena melalui utusan-utusan terpilih, pengajaran Al-Quran dengan sistem pendelegasian itu pun berhasil dengan gemilang. Ketika hijrah ke Madinah, misalnya, Rasulullah SAW diperkenalkan dengan Zaid bin Tsabit, anak berusia 11 tahun yang ketika itu telah menghafal 16 surah Al-Quran. Belakangan, remaja cerdas itu semakin dekat dengan Baginda Nabi, karena dipercaya menjadi salah seorang pencatat wahyu.
Setelah pembangun Masjid Nabawi usai, Rasulullah SAW memerintahkan pembangunan suffah, semacam beranda di samping masjid, dan menjadikannya sebagai pusat pengajaran Al-Quran, sekaligus tempat belajar baca tulis kaum muslimin. Tak kurang dari 900 sahabat mendaftar sebagai murid di suffah tersebut.
Selain Rasulullah SAW yang mengajar Al-Quran, beberapa sahabat lain seperti Abdullah bin Sa’id bin Al-‘Ash, Ubadah bin Ash-Shamit, dan Ubay bin Ka’ab, membantu mengajar AL-Quran dan baca tulis untuk para sahabat yang masih buta huruf. Pengajaran di suffah itu sangat istimewa, karena ditangani langsung oleh baginda Nabi SAW. Abdullah bin Umar memberi gambaran cara Nabi mengajar, “Beliau membacakan Al-Quran kepada kita, setiap kali sampai pada ayat sajdah, yang menyuruh bersujud, beliau mengucap takbir, lalu bersujud.”(HR. Muslim)
Dalam kitab Al-Intishar, karya Al-Baqillani, dikisahkan, Utsman bin Abil’Ash menceritakan, ia selalu ingin mengaji langsung kepada Rasulullah SAW. Jika sedang tidak bisa menemui beliau, Utsman mendatangi rumah Abu Bakar Shiddiq.
Abdullah bin Mughaffal mengisahkan, jika ada orang baru masuk Islam hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW menyuruh salah seorang Anshar menampung di rumahnya dan mengajarinya Al-Quran serta pengetahuan keislaman lainnya.
Dalam kitab Fadhail diriwayatkan oleh Abu Ubaid, para sahabat juga sering berkumpul di masjid untuk saling bertukar ilmu dan mengajarkan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya.
Selain para sahabat di Madinah, juga ada beberapa sahabat ahlul Quran yang dikirim oleh Baginda Nabi ke berbagai daerah untuk mengajar. Misalnya, Mu’adz bin Jabbal, yang dikirm ke Yaman, Abu Ubaid, diutus ke Najran, dan Wabra bin Yuhanna ditugasi ke Shan’a.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu bakar Shiddiq, pengajaran Al-Quran diteruskan oleh para sahabat utama. Saat itu di Madinah dan Makkah saja terdapat ratusan penghafa Al-Quran, yang setiap saat siap membagi pengetahuan mereka. Namun, dalam perang untuk menumpas nabi palsu di Yamamah, hampr ssepertiga dari ratusan penghafal Al-Quran itu gugur sebagai syahid. Peristiwa inilah yang kemudian melatarbelakangi pembukuan Al-Quran ata perintah Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq.
Para penghafal Al-Quran yang tersisa kemudian menurunkan ilmu kepada generasi berikutnya, baik yang tingal di Madinah dan Makkah maupun di kota dan negeri-negeri lain yang baru dibebaskan oleh kaum muslimin. Di antara mereka bahkan ada yang berkelana hingga jauh ke timur, seperti Sa’ad bin Abi Waqash, yang mengembara hingga ke Cina.
Qira'ah Sab’ah
Karena tempat pengajaraannya tidak lagi terpusat di Madinah, belakangan muncul beberapa kesalahan bacaan yang dilakukan oleh murid-murid sahabat yang tinggal jauh dari Makkah dan Madinah. Karena dianggap membahayakan, Khalifah Utsman bin Affan dan para sahabatnya berinisiatif membakukan penulisan dan ejaan Al-Quran dalam dialek Quraiys, Utsman pun membentuk tim beranggotakan 12 orang, dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.
Dari hasil kerja tim tersebut, lahirlah mushaf dengan rasm (ejaan) Utsmani yang menjadi panduan baku dalam penulisan Al-Quran. Seluruh mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani dimusnahkan, untuk menghilangkan potensi perbedaan di kemudian hari. Al-Quran rasm Utsmani itu pula yang kemudian diajarkan secara turun-termurun kepada umat Islam hingga saat ini.
Dari hasil didikan para sahabat tersebut, bermunculan ulama ahlul Quran dari kalangan tabi’in, seperti Muslim bin Jundub, yang belajar dari Abdullan bin Abbas dari Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin SA’ib Al-Mazumi, yang mendapat pengajaran Al-Quran dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khaththab, Hasan Al-Bashri, yang mendapat pengajaran AL-Quran dari Abu Aliyah dari Umar bin Khaththab; Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi, yang mempelajarinya dari Utsman bin Affan; Abdullah bin Hubaib Al-Silmi, yang mendapatkannya dari lima sahabat besar ahlul Quran, yaitu Ibn Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay, dan Zaid bin Tsabit; dan masih banyak lagi.
Meski ejaan Al-Quran telah diseragamkan, dalam praktek pengajarannya setelah era sahabat muncul perbedaan qiraat (dialek, pengucapan, lafadz) dalam Al-Quran. Berbeda dengan kasus perbedaan ejaan pada masa Khalifah Utsman, perbedaan dialek tidak menyebabkan perbedaan makna atau perubahan ejaan, bahkan kemudian tumbuh menjadi kekayaan khazanah keilmuan Islam.
Belakangan, meski berkembang menjadi 10 qiraat (ada yang berpendapat 12 dan 20 qiraat), ada tujuh dialek (qiraat sab’ah) yang paling populer dan hingga kini terus dipelajari. Masing-masing qiraat kemudian dikenal dengan nama para imam besar dikalangan tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya yang mengajarkannya.
Mereka adalah Imam Nafi’ bin Nu’aim, lahir di Madinah, 70 H, dan wafat di Isfahan pada 169 H, mempunyai sanad Al-Quran yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW melalui Abdurrahman bin hurmuz dari Muslim bin Jundub; Imam Abdullah ibn Katsir Al-Makki (45-120 H), sanadnya melalui Abdullah bin Saib Al-Mazumi; Imam Abu Amr bin Al-Ala (68-154 H), sanadnya melalui Hasan Al-Bashri; Imam Abdullah bin Amir Al-Yahsubi (21-118 H), sanadnya melalui Al-Mughirah bin Abi Syihab; Imam ‘Ashim bin Abin Nujud Al-Asadi Al-Kufi (wafat 127 H), sanadnya melalui Abdullah bin Hubaib As-Silmi; Imam Hamzah bin Habib Al-Kufi (80-156 H), sanadnya melalui Sulaiman bin Himran dri Yahya bin Wasab; dan Imam Ali bin Hamzah Al-Kisai (119-189 H), guru mengaji keluarga Harun Ar-Rasyid, sanadnya bertemu dengan Imam ‘Ashim melalui Hamzah, dari Isa bin Umar.
Karena tempat pengajaraannya tidak lagi terpusat di Madinah, belakangan muncul beberapa kesalahan bacaan yang dilakukan oleh murid-murid sahabat yang tinggal jauh dari Makkah dan Madinah. Karena dianggap membahayakan, Khalifah Utsman bin Affan dan para sahabatnya berinisiatif membakukan penulisan dan ejaan Al-Quran dalam dialek Quraiys, Utsman pun membentuk tim beranggotakan 12 orang, dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.
Dari hasil kerja tim tersebut, lahirlah mushaf dengan rasm (ejaan) Utsmani yang menjadi panduan baku dalam penulisan Al-Quran. Seluruh mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani dimusnahkan, untuk menghilangkan potensi perbedaan di kemudian hari. Al-Quran rasm Utsmani itu pula yang kemudian diajarkan secara turun-termurun kepada umat Islam hingga saat ini.
Dari hasil didikan para sahabat tersebut, bermunculan ulama ahlul Quran dari kalangan tabi’in, seperti Muslim bin Jundub, yang belajar dari Abdullan bin Abbas dari Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin SA’ib Al-Mazumi, yang mendapat pengajaran Al-Quran dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khaththab, Hasan Al-Bashri, yang mendapat pengajaran AL-Quran dari Abu Aliyah dari Umar bin Khaththab; Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi, yang mempelajarinya dari Utsman bin Affan; Abdullah bin Hubaib Al-Silmi, yang mendapatkannya dari lima sahabat besar ahlul Quran, yaitu Ibn Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay, dan Zaid bin Tsabit; dan masih banyak lagi.
Meski ejaan Al-Quran telah diseragamkan, dalam praktek pengajarannya setelah era sahabat muncul perbedaan qiraat (dialek, pengucapan, lafadz) dalam Al-Quran. Berbeda dengan kasus perbedaan ejaan pada masa Khalifah Utsman, perbedaan dialek tidak menyebabkan perbedaan makna atau perubahan ejaan, bahkan kemudian tumbuh menjadi kekayaan khazanah keilmuan Islam.
Belakangan, meski berkembang menjadi 10 qiraat (ada yang berpendapat 12 dan 20 qiraat), ada tujuh dialek (qiraat sab’ah) yang paling populer dan hingga kini terus dipelajari. Masing-masing qiraat kemudian dikenal dengan nama para imam besar dikalangan tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya yang mengajarkannya.
Mereka adalah Imam Nafi’ bin Nu’aim, lahir di Madinah, 70 H, dan wafat di Isfahan pada 169 H, mempunyai sanad Al-Quran yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW melalui Abdurrahman bin hurmuz dari Muslim bin Jundub; Imam Abdullah ibn Katsir Al-Makki (45-120 H), sanadnya melalui Abdullah bin Saib Al-Mazumi; Imam Abu Amr bin Al-Ala (68-154 H), sanadnya melalui Hasan Al-Bashri; Imam Abdullah bin Amir Al-Yahsubi (21-118 H), sanadnya melalui Al-Mughirah bin Abi Syihab; Imam ‘Ashim bin Abin Nujud Al-Asadi Al-Kufi (wafat 127 H), sanadnya melalui Abdullah bin Hubaib As-Silmi; Imam Hamzah bin Habib Al-Kufi (80-156 H), sanadnya melalui Sulaiman bin Himran dri Yahya bin Wasab; dan Imam Ali bin Hamzah Al-Kisai (119-189 H), guru mengaji keluarga Harun Ar-Rasyid, sanadnya bertemu dengan Imam ‘Ashim melalui Hamzah, dari Isa bin Umar.
Disadur dengan sedikit perubahan dari majalah al-Kisah no.19/Tahun VI/2008
No comments:
Post a Comment