Monday, September 15, 2008

Dengan Puasa (Lapar) Mengharap Kedekatan Kepada Allah

MAJLIS TAKLIM
WADDA’WAH
LIL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS
============================================================================
Dengan puasa (lapar)
Mengharap kedekatan kepada Allah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menyampaikan kita kembali kepada bulan yang suci ini. Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan rahasia. Mudah-mudahan Ramadhan kali ini menjadi lebih baik dan sempurna dari yang sebelumnya, dengan kita menghasilkan kualitas ibadah dan ketaatan di dalamnya.
Dan sungguh nerupakan kerugian yang besar jika seorang hamba tidak dapat memaksimalkan ibadah di bulan suci ini. Bukankah Nabi Muhammad SAW sudah menjanjikan, “Barang siapa berpuasa di dalam Ramadhan dengan penuh keimanan (meyakini akan janji baik Allah bagi mereka) dan hanya mengharap ridho Allah semata, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat”.(HR. Bukhori Muslim).
Shiyam (puasa) meruapakan ibadah yang sangat penting. Begitu pentingnya, sehingga Allah SWT menganggapnya sebagai milik-Nya sebagaimana dalam hadist qudsi Allah berfirman, “Sesungguhnya dia (puasa) adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahalanya”. Karena puasa merupakan ibadah khusus yang bahkan “diurus sendiri” oleh Allah SWT, boleh dikata puasa merupakan ibadah yang sarat dengan rahasia, tapi pahalanya tanpa batas.
Pahala yang tak terbatas itu ialah masuk surga, yang prioritasnya ditentukan oleh Allah SWT. Salah satu prioritas yang ditentukan oleh Allah SWT sehingga seorang hamba masuk surga ialah karena ibadah puasanya yang bersungguh-sungguh. Suatu saat Rasulullah SAW berkata kepada istri tercintanya, Sayyidah ‘Aisyah RA. “Sering-seringlah mengetuk pintu surga.”
Aisyah RA bertanya, “Dengan (cara) bagaimana?”
Beliau menjawab. “ Dengan rasa lapar.”
Memang, ada kedekatan atau keterkaitan antara rasa lapar (puasa) dengan pintu surga. Dalam sebuah hadits, Abu Umamah bercerita. “Aku pernah mendaangi Rasulullah seraya berkata, “Perintahkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku kedalam surga.”
Beliau menjawab, “Hendaklah engkau berpuasa karena puasa merupakan amalan yang tidak ada tandingannya.”
Kemudian aku mendatangi beliau untuk kedua kalinya, dan beliau bersabda (yang artinya) dengan nasihat yang sama.” (HR. Ahamd, Nasa’I, dan Al-Hakim).
Para ahlus shiyam (mereka yang selalu berpuasa) masuk surga dari pintu khusus yang disebut pintu Ar-Rayyan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda (yang artinya): Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat diserukan dari pintu itu. “Dimanakah orang-orang yang berpuasa?” Jika mereka semua orang-orang yang berpuasa telah masuk, pintu itupun ditutup kembali.”
Ahlus shiyam terbaik yang sangat layak diteladani ialah Rasulullah SAW. menurut sahabat Anas bin Malik, suatu hari Sayidah Fatimah RA, putri Rasulullah SAW menyampaikan remah-remah roti kepada Rasulullah SAW.”Saya tidak akan merasa tenang sebelum dapat memberikan remah-remah roti ini kepada Ayahnda.” Ujar Sayidah Fatimah RA.
Seketika itu Rasulullah SAW menjawab pelan, “Remah-remah roti ini adalah makanan pertama yang masuk ke dalam mulut ayahndamu selama tiga hari ini.”
Karena sering lapar itulah, terutama karena memang setiap kali tidak ada makanan, Rasulullah SAW lazim mengganjal perut dengan sebuah batu seukuran kepalan tangan. Itu tak berarti tugas dakwah berhenti hanya lantaran perut lapar. Dakwah dan perjuangan jalan terus, meski dalam keadaan berpuasa. Sebab, bagi Rasulullah SAW, dalam keadaan seperti itulah pintu surga terbuka lebar.
Puasa di bulan Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan, sebagimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183. Sudah banyak diketahui betapa besar keutamaan bulan Ramadhan. Imam Ibn Abdi Dun-ya meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Sekiranya orang mengetahui keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka berharap-harap agar Ramadhan berlaku sepanjang tahun.”
Itu tak berarti bahwa keutamaan dan pahala puasa sunnah itu kurang. Sebab Rasulullah SAW juga menganjurkan kita berpuasa di hari-hari tertentu di luar bulan Ramadhan. Seperti puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), puasa Asyura pada bulan Muharram, puasa enam hari pada bulan Syawwal, puasa 15 hari pada bulan Sya’ban , puasa 10 hari pertama pada bulan Dzulhijjah, puasa pada pertengahan bulan Qamariyah (tanggal 13, 14, 15), puasa pada hari Senin dan Kamis, puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari berbuka).
Bahkan ada ulama yang melakukan puasa dahr, yaitu puasa sepanjang tahun kecuali lima hari yang terlarang, yaitu pada dua hari raya (Idul Fitri dan ‘Idul Adha), dan pada tiga hari tasyriq (tiga hari setelah ‘Idul Adha, 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah).
Puasa dahr dilakukan oleh Fudhail bin Iyadh, yang selalu berpuasa padahal dia seorang perampok.
Bagaimana mungkin seorang perampok berpuasa dan beribadah?
Fudhail menjawab, “Tidakkah Allah, Yang Maha Kuasa, berfirman,”Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,mereka mencampurbaurkan amal kebajikan dan kejahatan. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampunan dan Maha Penyayang.”(QS. At-Taubah:102). Akhirnya perampok itu bertaubat, dan di kemudian hari menjadi seorang sufi besar.
Dari kisah sufi besar tersebut, kita mendapat pelajaran bahwa meskipun telah melakukan berbagai perbuatan dosa, kalau mau berpuasa, kita akan teretuntun untuk bertaubat, sehingga mendapat ampunan Allah SWT.
Puasa juga merupakan amalan penting di kalangan para sufi. Bagi sufi besar Junaid Al-Baghdadi (wafat. 298 H/910 M), puasa adalah separuh tarekat (jalan menuju Allah). Selain tentu saja memenuhi tuntutan syariat, juga untuk menafikan kemauan diri sekaligus menghindar dri sifat riya’.
Apalagi, puasa, yang hakikatnya adalah menahan hawa nafsu, sesungguhnya mencakup seluruh metode tarekat. Puasa kaum sufi tentu saja tidak hanya menahan lapar dan dahaga, melainkan juga menahan kecenderungan panca indera terhadap hal-hal yang tidak baik, terutama mengatur qalbu, sehingga semakin dekat dengan Allah SWT.
Menahan lapar dan dahaga, sudah pasti. Tapi, puasa yang bernilai tinggi ialah yang mampu menjaga mata dari pandangan yang menimbulkan gairah syahwar, menjaga telinga dari mendengarkan ucapan tidak baik tentang seseorang di belakangnya, menjafa lisan dari kata-kata buruk yang sia-sia, dan menjaga seluruh jasad dari mengikuti hal-hal duniawi yang menjauhkan dari Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW,”Ketika engkau berpuasa, biarkan pendengaranmu berpuasa, demikian pula mata, mulut, tangan, dan setiap anggota tubuhmu, sebab, banyak orang yang tidak mendapatkan apa-apa dalam puasanya kecuali lapar dan dahaga.”
Dan ternyata jika tubuh dalam keadaan lapar, hal itu bisa mencerdaskan dan menyehatkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW (yang artinya), “Berpuasalah, niscaya kamu sehat.”(HR. Ad Dailami). Bahkan dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda mengenai keutamaan puasa menyangkut kedekatan dengan Allah SWT (yang artinya), ”Jadikan perutmu lapar dan haus, serta badanmu lemah, niscaya hatimu “melihat” Allah di dunia ini.” Meski disadari lapar merupakan penderitaan bagi jasad, keadaan yang demikian mencerahkan hati dan menyucikan jiwa, membimbing ruh untuk mendekati Allah SWT.
Andai Fir’aun lapar
Orang yang mengali nilai-nilai spiritual dengan sarana lapar, agar bisa membebaskan diri dari ikatan duniawi dan mampu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT, niscaya tidaklah sama dengan mereka yang memenuhi jasadnya dengan kerakusan dan menghambakan diri kepada nafsu.
Benar kata pepatah, orang arif makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Manusia memang tidak lepas dari makanan, tapi kebajikan moral mensyaratkan mereka untuk tidak makan dan minum berelebihan. Dan yang paling efektif ialah berpuasa. “Orang yang berpikir tentang apa yang masuk ke dalam perut, hanya berharga seperti apa yang keluar dari perutnya.” Kata Imam Syafi’i.
Bagi sufi besar seperti Abu Yasid Al Busthami (wafat 261 H/874 M), lapar benar-benar merupakan sarana spiritual yang tinggi. Ketika ditanya mengapa dia sangat memuji lapar, jawabnya sangat mengejutkan.”Andai kata kala itu Fir’aun lapar, dia tidak akan mengaku sebagai tuhan yang paling tinggi. Dan jika kala itu Qarun juga lapar, nscaya dia tidak akan menentang Allah.” katanya.
Pendapat Abu Yasid selaras dengan sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya setan mengalir dalam tubuh manusia seperti darah. Maka bersihkanlah aliran darah (dari jalan setan) dengan rasa lapar.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Bukhori, dan Muslim).
Memang, semakin banyak tubuh mendapat makanan, semakin kuat kecenderungan jiwa untuk menjadi lebih rendah. Semakin cepat jiwa menjadi rendah, semakin cepat nafsu menyebar ke seluruh tubuh, sehingga melemahkan akal dan qalbu, sehingga tak mampu lagi menggapai kedekatan dengan Allah SWT. Maka ridha Allah SWT pun menjauh dan semakin menjauh. “Keinginan dan ketaatanku tergantung pada dua potong roti. Ketika makan, aku menemukan tanda-tanda dosa. Tapi ketika tidak makan, aku menemukan dasar kokoh keshalihan.” Kata Abu Al-Abbas Al-Qassab, seorang sufi besar.
Maka sufi besar lainnya, Al-Hujwiri, menyimpulkan bahwa keadaan dan rasa lapar adalah musyahadah (“menyaksikan”) Allah SWT), yang tandanya adalah mujahadah (bersungguh-sungguh). Keadaan dan rasa kenyang yang disatukan dengan musyahadah lebih baik dari pada keadaan dan rasa lapar disatukan dengan mujahadah, karena musyahadah adalah “medan perang” kaum lelaki, sementara mujahadah adalah tempat bermain anak-anak.
Itu sebabnya, sufi besar seperti Abu Sulaiman Ad-Darani berpendapat, kunci dunia adalah kenyang, sedangkan kunci akhirat adalah lapar. Sebab, keadaan dan rasa kenyang dapat mendorong syahwat dan mengobarkannya, sementara lapar mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena kekuatan menahan diri terhadap godaan duniawi dengan berbagai amalan ibadah.
Banyak makan, bagi sufi besar seperti Sahal bin Abdullah, bukanlah kebiasaan manusia yang baik. Baginya, makan sekali dalam sehari adalah makannya orang-orang baik, sedangkan makan dua kali (yaitu sahur dan buka puasa) adalah makannya orang-orang mukmin. Adapun makan tiga kali sehari, katanya, “Bagaikan orang yang mendirikan tempat makan bagi hewan.”
Bisa dimaklumi jika sufi besar seperti Yahya bin Mu’adz menyatakan, “Lapar itu ibarat cahaya yang menyinari jalan kebaikan, sementara kenyang ibarat apa yang dapat membakar syahwat, yang diibaratkan sebagai kayu yang apinya membakar pemiliknya”.

No comments:

Powered By Blogger