Monday, September 15, 2008

Dengan Puasa (Lapar) Mengharap Kedekatan Kepada Allah

MAJLIS TAKLIM
WADDA’WAH
LIL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS
============================================================================
Dengan puasa (lapar)
Mengharap kedekatan kepada Allah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menyampaikan kita kembali kepada bulan yang suci ini. Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan rahasia. Mudah-mudahan Ramadhan kali ini menjadi lebih baik dan sempurna dari yang sebelumnya, dengan kita menghasilkan kualitas ibadah dan ketaatan di dalamnya.
Dan sungguh nerupakan kerugian yang besar jika seorang hamba tidak dapat memaksimalkan ibadah di bulan suci ini. Bukankah Nabi Muhammad SAW sudah menjanjikan, “Barang siapa berpuasa di dalam Ramadhan dengan penuh keimanan (meyakini akan janji baik Allah bagi mereka) dan hanya mengharap ridho Allah semata, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat”.(HR. Bukhori Muslim).
Shiyam (puasa) meruapakan ibadah yang sangat penting. Begitu pentingnya, sehingga Allah SWT menganggapnya sebagai milik-Nya sebagaimana dalam hadist qudsi Allah berfirman, “Sesungguhnya dia (puasa) adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahalanya”. Karena puasa merupakan ibadah khusus yang bahkan “diurus sendiri” oleh Allah SWT, boleh dikata puasa merupakan ibadah yang sarat dengan rahasia, tapi pahalanya tanpa batas.
Pahala yang tak terbatas itu ialah masuk surga, yang prioritasnya ditentukan oleh Allah SWT. Salah satu prioritas yang ditentukan oleh Allah SWT sehingga seorang hamba masuk surga ialah karena ibadah puasanya yang bersungguh-sungguh. Suatu saat Rasulullah SAW berkata kepada istri tercintanya, Sayyidah ‘Aisyah RA. “Sering-seringlah mengetuk pintu surga.”
Aisyah RA bertanya, “Dengan (cara) bagaimana?”
Beliau menjawab. “ Dengan rasa lapar.”
Memang, ada kedekatan atau keterkaitan antara rasa lapar (puasa) dengan pintu surga. Dalam sebuah hadits, Abu Umamah bercerita. “Aku pernah mendaangi Rasulullah seraya berkata, “Perintahkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku kedalam surga.”
Beliau menjawab, “Hendaklah engkau berpuasa karena puasa merupakan amalan yang tidak ada tandingannya.”
Kemudian aku mendatangi beliau untuk kedua kalinya, dan beliau bersabda (yang artinya) dengan nasihat yang sama.” (HR. Ahamd, Nasa’I, dan Al-Hakim).
Para ahlus shiyam (mereka yang selalu berpuasa) masuk surga dari pintu khusus yang disebut pintu Ar-Rayyan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda (yang artinya): Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat diserukan dari pintu itu. “Dimanakah orang-orang yang berpuasa?” Jika mereka semua orang-orang yang berpuasa telah masuk, pintu itupun ditutup kembali.”
Ahlus shiyam terbaik yang sangat layak diteladani ialah Rasulullah SAW. menurut sahabat Anas bin Malik, suatu hari Sayidah Fatimah RA, putri Rasulullah SAW menyampaikan remah-remah roti kepada Rasulullah SAW.”Saya tidak akan merasa tenang sebelum dapat memberikan remah-remah roti ini kepada Ayahnda.” Ujar Sayidah Fatimah RA.
Seketika itu Rasulullah SAW menjawab pelan, “Remah-remah roti ini adalah makanan pertama yang masuk ke dalam mulut ayahndamu selama tiga hari ini.”
Karena sering lapar itulah, terutama karena memang setiap kali tidak ada makanan, Rasulullah SAW lazim mengganjal perut dengan sebuah batu seukuran kepalan tangan. Itu tak berarti tugas dakwah berhenti hanya lantaran perut lapar. Dakwah dan perjuangan jalan terus, meski dalam keadaan berpuasa. Sebab, bagi Rasulullah SAW, dalam keadaan seperti itulah pintu surga terbuka lebar.
Puasa di bulan Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan, sebagimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183. Sudah banyak diketahui betapa besar keutamaan bulan Ramadhan. Imam Ibn Abdi Dun-ya meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Sekiranya orang mengetahui keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka berharap-harap agar Ramadhan berlaku sepanjang tahun.”
Itu tak berarti bahwa keutamaan dan pahala puasa sunnah itu kurang. Sebab Rasulullah SAW juga menganjurkan kita berpuasa di hari-hari tertentu di luar bulan Ramadhan. Seperti puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), puasa Asyura pada bulan Muharram, puasa enam hari pada bulan Syawwal, puasa 15 hari pada bulan Sya’ban , puasa 10 hari pertama pada bulan Dzulhijjah, puasa pada pertengahan bulan Qamariyah (tanggal 13, 14, 15), puasa pada hari Senin dan Kamis, puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari berbuka).
Bahkan ada ulama yang melakukan puasa dahr, yaitu puasa sepanjang tahun kecuali lima hari yang terlarang, yaitu pada dua hari raya (Idul Fitri dan ‘Idul Adha), dan pada tiga hari tasyriq (tiga hari setelah ‘Idul Adha, 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah).
Puasa dahr dilakukan oleh Fudhail bin Iyadh, yang selalu berpuasa padahal dia seorang perampok.
Bagaimana mungkin seorang perampok berpuasa dan beribadah?
Fudhail menjawab, “Tidakkah Allah, Yang Maha Kuasa, berfirman,”Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,mereka mencampurbaurkan amal kebajikan dan kejahatan. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampunan dan Maha Penyayang.”(QS. At-Taubah:102). Akhirnya perampok itu bertaubat, dan di kemudian hari menjadi seorang sufi besar.
Dari kisah sufi besar tersebut, kita mendapat pelajaran bahwa meskipun telah melakukan berbagai perbuatan dosa, kalau mau berpuasa, kita akan teretuntun untuk bertaubat, sehingga mendapat ampunan Allah SWT.
Puasa juga merupakan amalan penting di kalangan para sufi. Bagi sufi besar Junaid Al-Baghdadi (wafat. 298 H/910 M), puasa adalah separuh tarekat (jalan menuju Allah). Selain tentu saja memenuhi tuntutan syariat, juga untuk menafikan kemauan diri sekaligus menghindar dri sifat riya’.
Apalagi, puasa, yang hakikatnya adalah menahan hawa nafsu, sesungguhnya mencakup seluruh metode tarekat. Puasa kaum sufi tentu saja tidak hanya menahan lapar dan dahaga, melainkan juga menahan kecenderungan panca indera terhadap hal-hal yang tidak baik, terutama mengatur qalbu, sehingga semakin dekat dengan Allah SWT.
Menahan lapar dan dahaga, sudah pasti. Tapi, puasa yang bernilai tinggi ialah yang mampu menjaga mata dari pandangan yang menimbulkan gairah syahwar, menjaga telinga dari mendengarkan ucapan tidak baik tentang seseorang di belakangnya, menjafa lisan dari kata-kata buruk yang sia-sia, dan menjaga seluruh jasad dari mengikuti hal-hal duniawi yang menjauhkan dari Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW,”Ketika engkau berpuasa, biarkan pendengaranmu berpuasa, demikian pula mata, mulut, tangan, dan setiap anggota tubuhmu, sebab, banyak orang yang tidak mendapatkan apa-apa dalam puasanya kecuali lapar dan dahaga.”
Dan ternyata jika tubuh dalam keadaan lapar, hal itu bisa mencerdaskan dan menyehatkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW (yang artinya), “Berpuasalah, niscaya kamu sehat.”(HR. Ad Dailami). Bahkan dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda mengenai keutamaan puasa menyangkut kedekatan dengan Allah SWT (yang artinya), ”Jadikan perutmu lapar dan haus, serta badanmu lemah, niscaya hatimu “melihat” Allah di dunia ini.” Meski disadari lapar merupakan penderitaan bagi jasad, keadaan yang demikian mencerahkan hati dan menyucikan jiwa, membimbing ruh untuk mendekati Allah SWT.
Andai Fir’aun lapar
Orang yang mengali nilai-nilai spiritual dengan sarana lapar, agar bisa membebaskan diri dari ikatan duniawi dan mampu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT, niscaya tidaklah sama dengan mereka yang memenuhi jasadnya dengan kerakusan dan menghambakan diri kepada nafsu.
Benar kata pepatah, orang arif makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Manusia memang tidak lepas dari makanan, tapi kebajikan moral mensyaratkan mereka untuk tidak makan dan minum berelebihan. Dan yang paling efektif ialah berpuasa. “Orang yang berpikir tentang apa yang masuk ke dalam perut, hanya berharga seperti apa yang keluar dari perutnya.” Kata Imam Syafi’i.
Bagi sufi besar seperti Abu Yasid Al Busthami (wafat 261 H/874 M), lapar benar-benar merupakan sarana spiritual yang tinggi. Ketika ditanya mengapa dia sangat memuji lapar, jawabnya sangat mengejutkan.”Andai kata kala itu Fir’aun lapar, dia tidak akan mengaku sebagai tuhan yang paling tinggi. Dan jika kala itu Qarun juga lapar, nscaya dia tidak akan menentang Allah.” katanya.
Pendapat Abu Yasid selaras dengan sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya setan mengalir dalam tubuh manusia seperti darah. Maka bersihkanlah aliran darah (dari jalan setan) dengan rasa lapar.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Bukhori, dan Muslim).
Memang, semakin banyak tubuh mendapat makanan, semakin kuat kecenderungan jiwa untuk menjadi lebih rendah. Semakin cepat jiwa menjadi rendah, semakin cepat nafsu menyebar ke seluruh tubuh, sehingga melemahkan akal dan qalbu, sehingga tak mampu lagi menggapai kedekatan dengan Allah SWT. Maka ridha Allah SWT pun menjauh dan semakin menjauh. “Keinginan dan ketaatanku tergantung pada dua potong roti. Ketika makan, aku menemukan tanda-tanda dosa. Tapi ketika tidak makan, aku menemukan dasar kokoh keshalihan.” Kata Abu Al-Abbas Al-Qassab, seorang sufi besar.
Maka sufi besar lainnya, Al-Hujwiri, menyimpulkan bahwa keadaan dan rasa lapar adalah musyahadah (“menyaksikan”) Allah SWT), yang tandanya adalah mujahadah (bersungguh-sungguh). Keadaan dan rasa kenyang yang disatukan dengan musyahadah lebih baik dari pada keadaan dan rasa lapar disatukan dengan mujahadah, karena musyahadah adalah “medan perang” kaum lelaki, sementara mujahadah adalah tempat bermain anak-anak.
Itu sebabnya, sufi besar seperti Abu Sulaiman Ad-Darani berpendapat, kunci dunia adalah kenyang, sedangkan kunci akhirat adalah lapar. Sebab, keadaan dan rasa kenyang dapat mendorong syahwat dan mengobarkannya, sementara lapar mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena kekuatan menahan diri terhadap godaan duniawi dengan berbagai amalan ibadah.
Banyak makan, bagi sufi besar seperti Sahal bin Abdullah, bukanlah kebiasaan manusia yang baik. Baginya, makan sekali dalam sehari adalah makannya orang-orang baik, sedangkan makan dua kali (yaitu sahur dan buka puasa) adalah makannya orang-orang mukmin. Adapun makan tiga kali sehari, katanya, “Bagaikan orang yang mendirikan tempat makan bagi hewan.”
Bisa dimaklumi jika sufi besar seperti Yahya bin Mu’adz menyatakan, “Lapar itu ibarat cahaya yang menyinari jalan kebaikan, sementara kenyang ibarat apa yang dapat membakar syahwat, yang diibaratkan sebagai kayu yang apinya membakar pemiliknya”.

Sejarah Pengajaran Al-Quran

MAJLIS TAKLIM
WADDA’WAH
LIL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS
====================================================================
SEJARAH PENGAJARAN AL-QURAN

Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur-an. Kaum muslimin di belahan dunia manapun berusaha di bulan yang penuh berkah ini untuk membaca dan menghatamkan Al Quran. Masjid dan mushalla menjadi semarak dengan pengajian dan tadarus Al-Quran. Pagi, siang, sore, malam, kaum muslimin larut dalam bacaan Al-Quran. Ya, Ramadhan memang identik dengan Al-Quran. Sebab, di bulan inilah kitab suci paling utama ini diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran surat Al Baqarah 185 (yang artinya):”Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”.
Disamping mengkaji dan mandalami kandungan Al-Quran, tentu sangat membahagiakn jika selama Ramadhan kita bisa menghatamkan AL-Quran berkali-kali. Sebab, setiap huruf Al-Quran yang dibaca akan menghasilkan 10 kebajikan. Bisa dibayangkan, berapa jumlah pahala yang akan diperoleh jika kita menghatamkan Al Quran.
Apalagi di bulan Ramadhan, ketika setiap kebajikan yang dilakukan pahalanya dilipatgandakan berpuluh bahkan beratus kali lipat. Belum lagi ditambah keistimewaan yang dijanjikan Rasulullah SAW atas orang yang menghatamkan Al-Quran doanya saat hataman diamini 50.000 malaikat. Sungguh luar biasa!.
Namun, untuk menghatamkan Al-Quran tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain harus mengenal dengan baik huruf-huruf Hijaiyah, tentu juga dibutuhkan ketrampilan tersendiri agar dapat membaca Al-Quran secara tartil alias baik, benar, dan lancar.
Sebutan “bacaan yang baik” memiliki banyak aspek. Selain etika dalam membaca Al-Quran, kata “baik” juga menyangkut sikap terhadap Al-Quran. Dalam membaca Al-Quran, seorang muslim tak sekadar menetapi prasyarat seperti suci badan, pakaian, dan tempat, tappi juga berusaha menyucikan hati dan perasaan. Agar, saat membaca Al-Quran, yang muncul di hati adalah perasaan cinta dan penuh kerinduan kepada Sang Pemillik Al-Quran.
Karena Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), membacanya berarti berdialog dengan Allah SWT. oleh karena itu kita hendaknya membacanya secara baik dan benar, sehingga dapat merasakan bahwa setiap rangkaian hurufnya merupakan untaian syair cinta dari Sang Khaliq yang penuh hikmah dan kedalaman untuk makhluk-Nya.
Adapun ungkapan “benar” terkait masalah tajwid, yaitu hukum bacaan Al-Quran. Benar dalam membaca Al-Quran berarti benar dalam mengucapkan huruf sesuai makhraj (pengucapan, palafalan), benar dalam memanjang-pendekkan bacaan sesuai madnya, dan benar dalam mendenung-tidakkan sambungan huruf sesuai hukum bacaannya. Benar juga berarti harus tahu bagian bacaan mana yang boleh berhenti (waqaf) dan lanjutnya (wasal), atau berhenti tapi tidak boleh mengambil nafas (saktah).
Sementara sebutan “lancar” dalam membaca AL-Quran menyangkut ketekunan dalam berlatih membaca. Semakin sering membaca Al-Quran, akan semakin mengalir dan merdu pula irama bacaan kita. Semakin lancar kita membaca Al-Quran, semakin cepat pula proses penghatamannya. Dan semakin cepat khatam dan mengulangnya lagi dari awal, semakin banyak pula kesempatan kita memperoleh pahala khataman Al-Quran.
Dalam rangka mendidik umat Islam agar mampu membaca Al-Quran dengan baik, benar, dan lancara itulah, para ahli Quran (sebutan bagi mereka yang menguasai rahasia Al-Quran) membuka pengajaran membaca Al-Quran. Dua-duanya, baik yang belajar maupun yang mengajar Al-Quran, disebut Nabi sebagai “umat terbaik”. Diriwyatkan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.”(HR. Abu Ubaid).

Tatap Muka dengan Jibril
Sejak kapan proses pengajaran Al-Quran berlangsung? Siapa guru-murid pertama dalam ta’limul Quran ini? Bagaimana perkembangan pengajaran Al-Quran dari masa ke masa? Sebagai firman Allah Ta’ala, yang pertama kali mengajarkan Al-Quran adalah Allah SWT sendiri, kepada Malalikat Jibril. Kapan waktu pengajaran AL-Quran yang pertama kali ini, hanya Allah jualah yang Maha Mengetahui.
Dari Malaikat Jibril, kemudian Al-Quran disampaikan, atau diajarkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW secara talaqqi. Sistem talaqqi, yang juga lazim disebut mushafahah, adalah metode pengajaran di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung, individual, tatap muka, face to face.
Tak hanya mengajarkan ayat-ayat baru, secara rutin Malaikat Jibril juga mengunjungi Nabi untuk memeriksa hafalan dan bacaan beliau. Diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Jibril mengajariku membaca Al-Quran setahun sekali. Dan tahun ini ia telah membacakan Al-Quran dua kali padaku. Aku menduga, ini pertanda ajalku sudah dekat”.(HR. Bukhari).
Kunjungan Jibril diperlukan, sebab ayat-ayat Al-Quran tidak diturunkan sekaligus dalam urutan seperti yang sekarang termaktub dalam mushaf Al-Quran. Al-Quran turun secara berangsur-angsur selama masa kenabian beliau, dengan urutan yang acak sesuai asbabun nuzul (sebab turunnya suatu ayat) sebagaimana telah ditakdirkan Allah SWT. Ayat Al-Quran yang pertama kali turun, yakni ayat 1-5 Surah Al’Alaq, kini menempati urutan surah ke 96 dari jumlah 114 surah yang diturunkan.
Metode Talaqqi dalam pengajaran ayat-ayat yang belum dihafal, dan pengulangan hafalan untuk menguatkan dan melancarkan sebagaimana dicontohkan oleh Malaiakt Jibril dan Rasulullah SAW, itulah yang kemudian menjadi cetak biru (blue print) sistem pengajaran Al-Quran di dunia Islam hingga kini. Di Indonesia, metode talaqqi dikenal dengan sebutan sistem sorogan Al-Quran, untuk membedakannya dengan sorogan kitab kuning.
Murid angkatan Pertama
Tradisi Jibril membacakan ayat-ayat Al-Quran secara rutin kepada Nabi SAW, dan memeriksa bacaan secara urutan ayat dan surah yang beliau hafal, kini menjadi tradisi di pesantren-pesantren Al-Quran di Jawa, dan disebut takriran atau nderes.
Ada juga tradisi sema’an, yaitu seorang hafizh (penghafal Al-Quran) menjaga hafalannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran di hadapan orang banyak yang menyimaknya sambil membuka mushaf Al-Quran untuk memeriksa kebenaran bacaan tersebut.
Setelah dua fase pertama – dari Allah ta’ala kepada Malaikat Jibril, dan dari Jibril kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur – dimulailah pengajaran Al-Quran secara umum kepada umat manusia. Urutan orang-orang yang belajar Al-Quran sama persis dengan urutan orang-orang yang masuk Islam. Sebab, ketika menyatakan keislaman, saat itu pula mereka langsung mempelajari ayat demi ayat Al-Quran.
Orang pertama yang belajar dan menghafal ayat-ayat suci Al-Quran setelah Baginda Nabi adalah Sayyidah Khadijah. Lalu disusul oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi), Abu Bakar Shiddiq (sahabat terdekat Nabi), Zaid bin Haritsah (pembantu keluarga Nabi). Abu Bakar kemudian membawa teman-teman dekatnya untuk masuk Islam dan mempelajari Al-Quran. Antara lain, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Mereka itulah murid angkatan pertama madrasah Al-Quran yang didirikan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. Mereka pulalah yang pertama kali merasakan sentuhan sistem pendidikan kenabian yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Melalui qalbu yang bersih angkatan pertama umat Islam inilah, cahaya Al_Quran memancar menerangi alam semesta. Sungguh mereka sangat beruntung.
Ketika jumlah umat Islam di Makkah semakin bertambah, Rasulullah mulai membagi tugas mengajarkan Al-Quran kepada beberapa sahabat yang dipandang memiliki kemampuan lebih. Dalam kitab Thabaqat, karya Ibnu Sa’ad, As-Siyar wal Maghari, karya Ibnu Ishaq, At-Taratib Al-Idariyah, karya Kattani, dan Sirah Ibnu Hisyam, tercatat nama beberapa sahabat yang pernah ditugasi oleh Baginda Nabi untuk mengajar Al-Quran.
Para sahabat yang beruntung itu adalah Abdullah bin Mas’ud, yang mengajar secara umum di Makkah, Khabbah yang mengajar pasangan suami-istri Fatimah bin Khaththab dan Sa’id bin Zaid, dan Mush’ab bin Umair, yang diperintahkan oleh Baginda Nabi untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah beberapa waktu sebelu hijrah. Ada juga nama Rafi’ bin Malik Al-Anshari yang disebut-sebut sebagai sahabat yang pertama kali membawa surah Yusuf ke Madinah, sebelum masa hijrah.
Karena melalui utusan-utusan terpilih, pengajaran Al-Quran dengan sistem pendelegasian itu pun berhasil dengan gemilang. Ketika hijrah ke Madinah, misalnya, Rasulullah SAW diperkenalkan dengan Zaid bin Tsabit, anak berusia 11 tahun yang ketika itu telah menghafal 16 surah Al-Quran. Belakangan, remaja cerdas itu semakin dekat dengan Baginda Nabi, karena dipercaya menjadi salah seorang pencatat wahyu.
Setelah pembangun Masjid Nabawi usai, Rasulullah SAW memerintahkan pembangunan suffah, semacam beranda di samping masjid, dan menjadikannya sebagai pusat pengajaran Al-Quran, sekaligus tempat belajar baca tulis kaum muslimin. Tak kurang dari 900 sahabat mendaftar sebagai murid di suffah tersebut.
Selain Rasulullah SAW yang mengajar Al-Quran, beberapa sahabat lain seperti Abdullah bin Sa’id bin Al-‘Ash, Ubadah bin Ash-Shamit, dan Ubay bin Ka’ab, membantu mengajar AL-Quran dan baca tulis untuk para sahabat yang masih buta huruf. Pengajaran di suffah itu sangat istimewa, karena ditangani langsung oleh baginda Nabi SAW. Abdullah bin Umar memberi gambaran cara Nabi mengajar, “Beliau membacakan Al-Quran kepada kita, setiap kali sampai pada ayat sajdah, yang menyuruh bersujud, beliau mengucap takbir, lalu bersujud.”(HR. Muslim)
Dalam kitab Al-Intishar, karya Al-Baqillani, dikisahkan, Utsman bin Abil’Ash menceritakan, ia selalu ingin mengaji langsung kepada Rasulullah SAW. Jika sedang tidak bisa menemui beliau, Utsman mendatangi rumah Abu Bakar Shiddiq.
Abdullah bin Mughaffal mengisahkan, jika ada orang baru masuk Islam hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW menyuruh salah seorang Anshar menampung di rumahnya dan mengajarinya Al-Quran serta pengetahuan keislaman lainnya.
Dalam kitab Fadhail diriwayatkan oleh Abu Ubaid, para sahabat juga sering berkumpul di masjid untuk saling bertukar ilmu dan mengajarkan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya.
Selain para sahabat di Madinah, juga ada beberapa sahabat ahlul Quran yang dikirim oleh Baginda Nabi ke berbagai daerah untuk mengajar. Misalnya, Mu’adz bin Jabbal, yang dikirm ke Yaman, Abu Ubaid, diutus ke Najran, dan Wabra bin Yuhanna ditugasi ke Shan’a.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu bakar Shiddiq, pengajaran Al-Quran diteruskan oleh para sahabat utama. Saat itu di Madinah dan Makkah saja terdapat ratusan penghafa Al-Quran, yang setiap saat siap membagi pengetahuan mereka. Namun, dalam perang untuk menumpas nabi palsu di Yamamah, hampr ssepertiga dari ratusan penghafal Al-Quran itu gugur sebagai syahid. Peristiwa inilah yang kemudian melatarbelakangi pembukuan Al-Quran ata perintah Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq.
Para penghafal Al-Quran yang tersisa kemudian menurunkan ilmu kepada generasi berikutnya, baik yang tingal di Madinah dan Makkah maupun di kota dan negeri-negeri lain yang baru dibebaskan oleh kaum muslimin. Di antara mereka bahkan ada yang berkelana hingga jauh ke timur, seperti Sa’ad bin Abi Waqash, yang mengembara hingga ke Cina.
Qira'ah Sab’ah
Karena tempat pengajaraannya tidak lagi terpusat di Madinah, belakangan muncul beberapa kesalahan bacaan yang dilakukan oleh murid-murid sahabat yang tinggal jauh dari Makkah dan Madinah. Karena dianggap membahayakan, Khalifah Utsman bin Affan dan para sahabatnya berinisiatif membakukan penulisan dan ejaan Al-Quran dalam dialek Quraiys, Utsman pun membentuk tim beranggotakan 12 orang, dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.
Dari hasil kerja tim tersebut, lahirlah mushaf dengan rasm (ejaan) Utsmani yang menjadi panduan baku dalam penulisan Al-Quran. Seluruh mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani dimusnahkan, untuk menghilangkan potensi perbedaan di kemudian hari. Al-Quran rasm Utsmani itu pula yang kemudian diajarkan secara turun-termurun kepada umat Islam hingga saat ini.
Dari hasil didikan para sahabat tersebut, bermunculan ulama ahlul Quran dari kalangan tabi’in, seperti Muslim bin Jundub, yang belajar dari Abdullan bin Abbas dari Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin SA’ib Al-Mazumi, yang mendapat pengajaran Al-Quran dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khaththab, Hasan Al-Bashri, yang mendapat pengajaran AL-Quran dari Abu Aliyah dari Umar bin Khaththab; Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi, yang mempelajarinya dari Utsman bin Affan; Abdullah bin Hubaib Al-Silmi, yang mendapatkannya dari lima sahabat besar ahlul Quran, yaitu Ibn Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay, dan Zaid bin Tsabit; dan masih banyak lagi.
Meski ejaan Al-Quran telah diseragamkan, dalam praktek pengajarannya setelah era sahabat muncul perbedaan qiraat (dialek, pengucapan, lafadz) dalam Al-Quran. Berbeda dengan kasus perbedaan ejaan pada masa Khalifah Utsman, perbedaan dialek tidak menyebabkan perbedaan makna atau perubahan ejaan, bahkan kemudian tumbuh menjadi kekayaan khazanah keilmuan Islam.
Belakangan, meski berkembang menjadi 10 qiraat (ada yang berpendapat 12 dan 20 qiraat), ada tujuh dialek (qiraat sab’ah) yang paling populer dan hingga kini terus dipelajari. Masing-masing qiraat kemudian dikenal dengan nama para imam besar dikalangan tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya yang mengajarkannya.
Mereka adalah Imam Nafi’ bin Nu’aim, lahir di Madinah, 70 H, dan wafat di Isfahan pada 169 H, mempunyai sanad Al-Quran yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW melalui Abdurrahman bin hurmuz dari Muslim bin Jundub; Imam Abdullah ibn Katsir Al-Makki (45-120 H), sanadnya melalui Abdullah bin Saib Al-Mazumi; Imam Abu Amr bin Al-Ala (68-154 H), sanadnya melalui Hasan Al-Bashri; Imam Abdullah bin Amir Al-Yahsubi (21-118 H), sanadnya melalui Al-Mughirah bin Abi Syihab; Imam ‘Ashim bin Abin Nujud Al-Asadi Al-Kufi (wafat 127 H), sanadnya melalui Abdullah bin Hubaib As-Silmi; Imam Hamzah bin Habib Al-Kufi (80-156 H), sanadnya melalui Sulaiman bin Himran dri Yahya bin Wasab; dan Imam Ali bin Hamzah Al-Kisai (119-189 H), guru mengaji keluarga Harun Ar-Rasyid, sanadnya bertemu dengan Imam ‘Ashim melalui Hamzah, dari Isa bin Umar.
Disadur dengan sedikit perubahan dari majalah al-Kisah no.19/Tahun VI/2008

























Tuesday, July 15, 2008

RAJAB BULAN ISTIGHFAR

MAJELIS TAKLIM WADDA'WAH
LIL USTADZ HABIB SHOLEH BIN ACHMAD ALAYDRUS


RAJAB BULAN ISTIGHFAR

Hari ini kita telah berada pada tanggal 1 Rajab 1429 H. itu berarti kita telah memasuki bulan yang penuh dengan keutamaan, kemuliaan dan penghormatan. Bulan yang sangan tepat untuk memperbanyak amal ibadah dan istighfar guna memasuki bulan Sya’ban dan persiapan menyambut Ramadhan.

Ibarat menanam tanaman, Rajab adalah bulan kita menanam benih-benihnya, Sya’ban kita menyirami dan memupuknya, sedang Ramadhan kita memanen hasilnya. Itulah keterkaitan tiga bulan tersebut. Demikianlah apa yang dikatakan oleh Imam Abu Bakar Al Warraq Al Balkhi. Beliau juga berkata, “Perumpamaan Rajab seperti angin, Sya’ban seperti awan (mendung)nya dan Ramadhan ibarat hujannya”.

Rajab tergolong salah satu dari Al Asyahrul Hurum, bulan-bulan penuh kehormatan dan kemuliaan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW.

Diantara kemuliaan yang ada di dalam bulan Rajab, adalah terkabulnya doa-doa hamba di dalamnya, terutama pada malam pertamanya, dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda (yang artinya): “Lima malam, tidak akan ditolak doa-doa didalamnya: awal Rajab, malam nisfu Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fitri dan malam an Nahr(Idul Adha)”.(HR. Ibnu ‘Asakir)

Rajab adalah bulan Allah SWT yang dituangkan di dalamnya rahmat kepada hamba-hambaNya. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya):

“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadahan bulan umatku”(Hadits mursal dari Al Hasan AL Bashri)

dengan berdasarkan hadits di atas, maka sebagian Ulama’ menyebutkan bahwa Rajab adalah bulan istighfar dan taubat kepada Allah sesuai dengan istilah ‘Rajab bulan Allah’. Sebagai hamba Allah, hendaknya di bulan Allah ini kita banyak bertaubat kepadaNya, kembali kepadaNya dan meminta maaf sepenuh hati ke hadirat Ilahi, agar benar-benar diampuni dan didekatkan kepadaNya.

Sedangkan Sya’ban sebagai bulan Nabi Muhammad SAW, maka sepantasnya dan layak untuk kita memperbanyak sholawat dan salam kepada beliau SAW dil bulan ini. Adapun Ramadhan seperti kita ketahui adalah bulan yang didalamnya diturunan Al Qur-an, maka hendaknya seorang hamba mengisi waktunya selama Ramadhan dengan banyak membaca AlQur-an disamping ibadah-ibadah yang lain.

Dalam kitab An Nafahat An Nuraniyyah, Syeikh Yusuf Khattar menyebutkan bahwa bulan Rajab memiliki 14 nama, dan banyaknya nama tersebut cukuplah menunjukkan kemuliaan dan kehormatannya. Nama-nama tersebut adalah: Rajab, Syahrullah (bulan Allah), Rajab Mudhar, Munshilul Asinnah, Al Ashom, Al Ashob, Munaffis, Muthahhir, Ma’alla, Muqim, Harim, Muqasyqisy, Mubarri’ dan Rard.

Selain istighfar, ibadah yang dianjurkan dilakukan di bulan Rajab adalah berpuasa, sekalipun tidak ada hadits khusus yang menyebutkan tentang keutamaan puasa di bulan Rajab ini secara khusus, tetai sudah termasuk dalam keumuman sunnahnya berpuasa pada Al Asyahrul Hurum, sebab Rajab termasuk Al Asyahrul Hurum.

Diriwayatkan dari ‘Urwah dia bertanya kepada Abdullah bin Umar,”Apakah Rasulullah SAW berpuasa di bulan Rajab?”, Ibnu Umar menjawab, “Benar dan beliau SAW memuliakannya”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Paling sedikit puasa di bulan Rajab satu hari, yakni di hari pertama. Puasa dalam bulan Rajab, sebagaimana dalam bulan-bulan mulia lainnya, hukumnya sunnah. Diriwayatkan dari Mujibah Al Bahiliyah dari ayahnya, Rasulullah bersabda (yang artinya): Berpuasalah kalian di bulan-bulan haram atau tinggalkan (puasa).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Achmad).

Sedangkan kita sudah mengetahui bahwa Rajab termasuk bulan-bulan haram (Al Asyhurul Hurum). Maka hadits tersebut di atas secara umum juga menunjukkan kesunahan puasa di bulan Rajab.

Diriwayatkan pula dari Abu Qilabah, seorang pembesar Tabi’in, beliau berkata,”Di surga terdapat sebuah istana yang diperuntukkan bagi orang-orang yang puasa di bulan Rajab”. Perihal Abu Qilabah, Imam Baihaqi berkata,”Beliau adalah pembesar Tabi’in, tidaklah beliau menyampaikan sesuatu kecuali karena mendengar generasi di atasnya (para sahabat)”.

Maka dari itu tersebutlah beberapa ulama salaf yang melakukan puasa Rajab sebulan penuh seperti Imam Abdullah bin Umar, Hasan Al Bashri, Abu Ishaq As Sabi’iy dan lainnya.

Lain lagi dengan Imam Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Sa’id Al Anshori beliau tidak menyukai berpuasa sebulan penuh dalam bulan Rajab karena ada keterangan dari sahabat Abdullah bin Abbas bahwa beliau tidak senang jika Rajab dipakai puasa sebulan penuh. Oleh karenanya untuk menghindari hal tersebut, kata Imam Ahmad bin Hambal :”Hendaknya seseorang tidak puasa satu atau dua hari di bulan Rajab”.

Hal ini rupanya sejalan dengan pendapat Imam Asy Syafi’i, beliau berkata:

Aku tidak suka jika seseorang berpuasa sebulan penuh seperti dia berpuasa Ramadhan. Alasannya adalah jangan sampai perbuatannya tadi diikuti oleh masyarakat awam (yang jahil) sehingga dikhawatirkan mereka akan menyangka bahwa hal itu hukumnya wajib. Dan akan hilang kemakruhan mengkhususkan Rajab dengan puasa tersebut, jika digabung dengan puasa sunnah lainnya, seperti puasa Rajab sebulan penuh dan dilanjutkan dengan puasa Sya’ban. (maka yang demikian tidaklah makruh)”.

Hadits lain yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Rajab, antara lain, Imam Ath Thabarani meriwayatkan dari Sa’id bin Rasyid, Rasulullah SAW bersabda, (yang artinya):

Barang siapa berpuasa sehari di bulan Rajab, laksana ia puasa setahun. Bila berpuasa tujuh hari, ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam. Bila berpuasa delapan hari, dibukakan untuknya delapan pintu surga. Bila berpuasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya..”

meski begitu, menurut Imam Suyuthu dalam al Haawi lil Fataawi, hampir semua hadits tentang puasa Rajab tersebut berstatus Dha’if (kurang kuat). Akan tetapi hadits dha’if sebagaimana disepakati Ulama ahli hadist, dapat digunakan untuk memotivasi diri dalam fadhailul A’mal (mengerjakan amal-amal kebajikan), selagi tidak terlalu berat ke-dha’ifan-nya atau tidak ada dalam sanadnya seorang rawi yang suka berdusta atau dituduh suka berdusta.

Ada lagi satu amalan yang hendaknya kita ikuti dari Rasulullah, yaitu berdoa di bulan Rajab sebagaimana telah beliau ajarkan. Dari sahabat Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah SAW jika telah memasuki bulan Rajab beliau banyak berdoa: Allohumma baarik lana fii Rajab wa Sya’ban wa ballighna Ramadhan ( yang artinya: ya Allah berikanlah keberkahan buat kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan).

Thursday, May 29, 2008

Kehidupan Rumah Tangga Rasulullah

Edisi Jum’at : 9 Maret 2008


MAJELIS TAKLIM

WADDA'WAH

W A D D A ' W A H



LIL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS

Kehidupan Rumah Tangga Rasulullah SAW.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin ‘Amr RA, Rasulullah SAW. bersabda (yang artinya): ”Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah seorang wanita sholehah”. Dan hal ini benar-benar terwujud dalam kehidupan rumah tangga beliau SAW, karena Allah telah memilih untuk Rasulullah istri yang amat sholehah dan mulia, dialah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid.

Perkawinan dengan Sayyidah Khadijah RA (556-620 M) menjadika Nabi Muhammad SAW sebagai kepala keluarga yang berdiri sendiri, tidak seperti sebelumnya, beliau harus mengikuti pengasuhnya: ibunya, kakeknya, dan terakhir pamannya. Saat itu beliau tingga serumah dengan istrinya dan membentuk mahligai keluarga yang tenang dan terteram, penuh kasih sayang serta persatuan yang padu

Meski umur mereka berbeda, seorang perjaka mengawini janda umur 40 tahun dengan beberapa anak, ini justru melahirkan perkawinan yang ideal. Nabi Muhammad mengawini Sayyidah Khadijah karena budi pekertinya yang luhur. Dan pilihan kepada Sayyidah Khadijah tentu tidak terlepas dari ketentuan dan pilihan Allah.

Sayyidah Khadijah adalah wanita Quraisy yang nasabnya paling terhormat, paling kaya, dan cerdas, selain cantik dari segi fisik dan akhlaqnya. Disamping itu, ia juga memiliki sifat-sifat yang mulia. Semua kelebihan itu terkumpul pada dirinya.

Ayahnya bernama Khuwailid, salah seorang tokoh suku Quraisy yang sangat dihormati. Sedangkan ibunya adalah Fathimah, yang nasabnya bersambung kepada silsilah para nabi yang penuh berkah. Oleh sebab itu, Sayyidah Khadijah adalah istri yang nasabnya paling dekat kepada Nabi SAW.

Sayyidah Khadijah sempat mengikuti perkembangan terakhir zaman Jahiliyah. Pada waktu itu ia memiliki kedudukan yang terhormat di kalangan kaumnya, cantik dan berbudi mulia. Pada zaman Jahiliyah, ia dipanggil At Thahirah(Wanita Suci), karena kesucian jalan hidup dan perilakunya. Dia sangan terkenal di kalangan wanita Quraisy karena otaknya yang cemerlang, pendapatnya yang sangat bagus, dan hatinya yang bersih.

Pertama kali, dia dipersunting oleh Atiq bin ‘Abid, tapi tidak lama kemudian ‘Atiq meninggal dunia. Kemudian dia dinikahi oleh seorang tokoh lain, Abu Halah bin Zararah At-Tamimi, dan dianugerahi seorang putra bernama Hindun. Tidak lama setelah itu suaminya pun meninggal dunia.

Kemudian Sayyidah Khadijah menjadi incaran para pemuda dan pemuka Quraisy. Namun Allah memberikan karunia kepadanya untuk menjadi istri Nabi Muhammad.

Sayyidah Khadijah menunjukkan sikap wanita yang sangat dihormati, mencintai dan bersikap jujur terhadap suami. la memperlakukan suaminya dengan sangat baik dan mengangkat harkatnya. Dengan sekuat tenaga, Sayyidah Khadijah membantu dan melaksanakan seluruh kewajibannya sebagai seorang istri dengan sangat setia.

Rasulullah sangat menghormatinya. Sayyidah Khadijah memperoleh kedudukan yang sangat terhormat dalam diri dan hati Rasulullah. Tidak henti­-hentinya beliau mengakui kelebihan Sayyidah Khadijah, sehingga belum pemah terbetik sekali pun dalam hati beliau untuk menikahi wanita lain selama hidup berdampingan dengannya.

Wanita Islam Pertama '

Ada masa berkesan ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama di Gua Hira'. Hampir selama empat puluh hari Rasulullah bertahanuts (menyendiri) di Gua Hira'. Sayyidah Khadijah mempersiapkan keperluan untuk suaminya. Setiap kali keperluan itu habis, ia menyiapkan penggantinya.

Ketika turun wahyu melalui perantaraan Malaikat fibril, Rasulullah kembali kepada sang istri dengan muka pucat pasi.

"Selimuti aku! Selimuti aku!"

Kemudian Sayyidah Khadijah menutupi tubuh beliau dengan selimut hingga rasa takut itu hilang. Setelah itu beliau menceritakan kepada Sayyidah Khadijah apa yang telah terjadi. "Aku takut sesuatu akan terjadi.padaku.."

Sayyidah Khadijah berkata kepada beliau untuk menghiburnya, "Demi Allah, aku gembira. Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena sesungguhnya engkau adalah orang yang mau menyambungkan tali silaturahim, berbicara benar, memberi orang yang tidak punya, menyampaikan amanat, menghormati tamu, dan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang ditimpa kemalangan."

Setelah itu, Sayyidah Khadijah pergi menemui anak pamannya, Waraqah bin Nawfal, seorang Nasrani yang telah membaca berbagai kitab suci, terutama Taurat dan Injil. Kepada Waraqah, Sayyidah Khadijah menceritakan pengalaman suaminya itu.

Waragah membenarkan bahwa sosok yang datang kepada suaminya adalah Malaikat Jibril, dalam istilah waktu itu adalah Namus. Karena itulah, Sayyidah Khadijah langsung menyatakan keislamannya kepada Nabi Muhammad SAW. Dia adalah wanita pertama yang masuk Islam.

Sayyidah Khadijah berusaha meringankan beban suaminya dalam berdakwah secara sembunyi atau terang-terang. la bersabar atas hinaan dan cercaan kepada suaminya. la juga cukup menderita karenanya, tetapi ia sabar dalam menerima cobaan itu, tidak pernah mengeluh. Berbagai ujian dan cobaan itu sedikit pun tidak mempengaruhi ketenteraman hidup rumah tangganya.

Cara hidup Sayyidah Khadijah merupakan teladan bagi kaum wanita. la adalah wanita shalihah, penyabar, pandai bersyukur, bahkan bersedia mengorbankan harta dan jiwanya demi suaminya ketika menghadapi berbagai cobaan.

Hadits tentang Sayyidah Khadijah

Di dalam sebuah riwayat disebutkan, Jibril berkata, "Wahai Muhammad, aku titip salam buat Khadijah dari Tuhannya "

Maka Nabi SAW bersabda, "Wahai Khadijah, ini Jibril yang membawa titipan salam untukmu dari Tuhanmu."

Sayyidah Khadijah menjawabnya dengan jawaban yang sangat bagus, "Allah adalah keselamatan (as-salam), dari-Nya pula keselamatan itu. Juga kuucapkan salam kepada Jibril AS."

Abu Hurairah meriwayatkan, Jibril berkata kepada Nabi SAW, "Beri tahukan kepada Khadijah bahwa di surga ia memiliki sebuah rumah yang terbuat dari bambu, yang tidak berisik dan tidak ramai:"

Sayyidah Aisyah RA meriwayatkan, apabila menyebutkan nama Sayyidah Khadijah, Rasulullah selalu memujinya dengan pujian yang sangat bagus. Hal itu membuat Sayyidah Aisyah merasa cemburu kepadanya

"Alangkah banyak apa yang kau ingat tentang si Pipi Merah itu, padahal engkau telah mendapatkan gantinya yang lebih baik daripada dia, "katanya suatu hari.

"Allah belum memberikan gantinya kepadaku yang lebih baik daripada dia. la telah beriman kepadaku ketika semua orang ingkar kepadaku. la telah membenarkanku ketika semua orang membohongkan aku. la telah memberikan semua hartanya kepadaku ketika orang memboikotku. la telah memberikan anak laki-laki kepadaku ketika semua istriku tidak memberikannya, jawab Rasulullah.

Masih dari riwayat yang dituturkan oleh Sayyidah Aisyah. Sayyidah Aisyah berkata, "Rasulullah kerap kali menyebut-nyebut Sayyidah Khadijah. Kemudian aku berkata kepadanya, 'Allah telah menjadikan aku sebagai pengganti wanita tua Quraisy yang merah pipinya itu.'

Mendengar itu, wajah Rasulullah SAW merah padam. "Belum pernah aku melihat sebelumnya kecuali pada saat ada wahyu yang turun. Jika Rasulullah sudah begitu, dapatlah dibedakan apakah ia sedang mendapatkan kesenangan atau kesedihan."

Ibnu Abbas RA menuturkan, Rasulullah SAW membuat empat garis. "Tahukah kalian, apakah ini?" tanya Rasulullah.

"Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui," jawab sahabat.

"Wanita penghuni surga yang paling mulia adalah Khadijah bind Khuwailid, Fathimah binti Mohammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah istri Fir'aun; " sabda Nabi.

Sayyidah Khadijah mendampingi Nabi Mohammad selama dua puluh empat tahun. Hingga tiba saatnya wanita mulia itu menghadap Sang Khaliq, tiga tahun sebelum Hijrah, pada bulan Ramadhan, di AI-Hajun, dalam usia enam puluh tahun. Rasulullah sendiri yang turun ke liang lahatnya. Beliau tampak begitu sedih.

Putra-putri Rasulullah

Dari Sayyidah Khadijah, Nabi dikarunia enam anak. Yakni, Qasim danAbdullah, kedua anak lelaki ini meninggal sewaktu masih kecil. Karena itulah, sebelum umat Islam dilarang memanggil nama asli Nabi, mereka memanggilnya "Aba Qasim" (bapaknya Qasim)­

Sebuah hadits shahih menyebutkan, Nabi bersabda, "Namailah diri kalian dengan namaku, tetapi jangan berkun-yah dengan kun-yahku. Hanya akulah Qasim (pembagi). Aku membagi di antara kalian." (HR Muslim). Maksudnya, apabila ada seorang ayah yang memiliki anak tertua lelaki bernama Qasim, tidak boleh meminta dirinya dipanggil Aba Qasim, sebagaimana Rasulullah. Atau, lebih baik nama Qasim itu untuk anak nomor dua dan seterusnya.

Kemudian disusul keempat anak lainnya, yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah Az­ Zahrah. Sayyidah Zainab lahir ketika usia Rasulullah genap tiga puluh tahun. Setelah dewasa, is menikah dengan anak bibinya, Abu Al-'Ash bin Al-Rabi', sebelum masa kenabian Nabi Mohammad. Pasangan ini dikarunia dua putra, Ali dan Umamah. Umamah pada saatnya dinikahi Ali bin Abi Thalib RA. Zainab meninggal di Madinah pada tahun kedelapan Hijrah.

Sayyidah Ruqayyah lahir pads saat Rasulullah SAW berusia tiga puluh tiga tahun. Setelah dewasa, ini dinikahi'Utbah binAbu Lahab.

Ketika turun surah Al-Lahab, Abu Lahab, memerintahkan anaknya menceraikan istrinya. Kemudian Ruqayah dinikahi Ustman bin Affan RA di Makkah. Pasangan ini dikaruniai seorang anak bemama Abdullah, tetapi beberapa hari kemudian meninggal dunia karena sakit. Putri ketiga Nabi ini meninggal setahun sepuluh hari setelah peristiwa Hijrah.

Sayyidah Ummu Kultsum lahir beberapa tahun setelah Sayyidah Ruqayah. la dinikahi oleh Utaybah bin Abu Lahab, tapi mengalami nasib sama, diceraikan oleh anak Abu Lahab itu. Setelah Ruqayah meninggal, Sayyidah Ummu Kultsum dinikahkan dengan Ustman bin Affan RA atas perintah dan wahyu dari Allah. la tidak mempunyai anak, dan meninggal pada tahun kesembilan Hijriyah.

Yang terakhir, Sayyidah Fathimah, lahir ketika Nabi berusia tiga puluh lima tahun. la menikah dengan Ali bin Abi Thalib RA pada tahun dua Hijriyah, pada waktu itu umurnya sembilan belas tahun. Pasangan ini dikaruniai lima putra. Yaitu, Hasan, Husin, Muhsin, Ummu Kultsum, dan Zainab. Muhsin meninggal dunia ketika masih kecil. Sayyidah Fathimah meninggal pada malam Selasa, 3 Ramadhan 11 H, pada usia dua puluh delapan tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi', dishalatkan oleh Ali bin Abi Thalib RA. Sayyidah Fathimah meninggal setelah enam bulan Rasulullah menghadap Yang Mahakuasa.

KISAH DAN HIKMAH

Asiah binti Muzahim

Banyak sekali contoh mengenai sosok wanita ideal yang dijamin masuk surga. Di antaranya adalah yang disebutkan Rasulullah SAW, "Sebaik-baik wanita surga adalah Khadijah, Fatimah, Maryam, dan Asiah." (HR Baihaqi). Mereka bukan sembarang wanita, karena begitu banyak sisi kehidupan mereka yang diabadikan oleh sejarah.

Asiah bind Muzahim dialah salah seorang wanita beriman yang dijamin masuk surge, bahkan menjadi salah satu di antara pemimpin para wanita di surga, meski ketika di dunia ditakdirkan menjadi pendamping Fir’aun yang dhalim.

Ketika masih gadis, Asiah merupakan bunga di kotanya. Bahkan kecantikannya terkenal sampai ke penjuru kota. Ketika mendengar hat itu, Fir'aun segera melamarnya untuk dijadikan permaisuri.

Sifat Asiah, yang lemah lembut, rendah hati, sungguh amat kontradiktif dengan sifat Fir'aun, yang kasar, sombong, kejam, dan selalu mempunyai keinginan berlebih untuk disanjung dan dihormati. Bahkan ia mengaku sebagai tuhan, dan seluruh rakyat diperintahkan menyembahnya.

Setelah menjadi permaisuri, Asiah adalah wanita yang paling dekat dan sangat dicintai Fir'aun. la bahkan mendapatkan perkecualian dari hukum Fir'aun yang sangat kejam. Hal ini terbukti saat sang permaisuri mengangkat anak seorang bayi laki-laki yang diambil dari sebuah peti dari Sungai Nil. Padahal, ketika itu Fir'aun memerintahkan pembunuhan terhadap semua bayi laki-laki yang lahir di seantero Mesir.

Bayi itu kemudian diberi nama Musa. Dan lewat anak angkatnya inilah, suatu ketika Asiah beriman kepada Allah Ta'ala. Asiah hidup di dalam istana Fir'aun, yang begitu ditakuti rakyatnya. Bukan hanya itu, orang-orang terdekat suaminya adalah penjilat dan pejabat tamak_ Pam penyihir Fir'aun jugs selalu mengamini keinginannya. Dalam lingkungan demikianlah, Asiah harus mempertahankan keyakinannya

Pada suatu hari, Asiah diajak Fir'aun untuk menyaksikan adu kekuatan antara Musa dan tukang-­tukang sihir yang kesohor di negerinya. Seluruh rakyat pun diundang, karena Fir'aun yakin. bahwa Musa akan kalah.

Hati Asiah tersekat ketika tukang sihir Fir'aun melemparkan tali-tali yang dipegangnya. Seketika itu pula, tali-tali itu berubah menjadi ular yang amat banyak_

Tapi, hati Asiah menjadi lega ketika melihat ketenangan yang luar biasa terpancar dan wajah anak angkatnya itu. Tak sedikit pun Musa merasa gentar, karena ia telah mendapat mukjizat dari Allah. la menjatuhkan tongkat yang sedang dipegangnya. Dan ajaib, tongkat itu berubah menjadi ular besar yang kemudian memakan ular-ular para tukang sihir itu.

Dalam hati Asiah amat senang. Sebaliknya dengan Firaun, ia murka sejadi-jadinya, apalagi saat tukang-tukang sihir itu berbalik arah, beriman kepada Tuhannya Musa.

Ditatapnya permaisurinya yang cantik itu dengan tatapan yang menusuk hati.

"Apakah engkau menyaksikan hukuman yang ditimpakan kepada orang-orang yang tidak mengakui aku sebagai tuhan yang agung?"

Dengan pandangan yang jijik dan penuh kebencian, Asiah berpaling dari pandangan suaminya. Mengingat apa yang telah dilakukan Fir'aun terhadap masyitah (juru sisir kerajaan), yang dihukum mati karena mempertahankan keimanannya kepada Tuhan, tiba-tiba muncul dalam dirinya kekuatan untuk melawan suaminya.

Maka dengan perasaan benci yang menggunung, Asiah dengan lantang berkata, "Engkau akan celaka menghadap siksaan Allah, wahai Firaun!"

Bagaikan disambar petir, Fir'aun terkesiap mendengar apa yang diucapkan istri yang dikasihinya itu. Dengan tatapan tajam ia menatap Asiah sambil menggeram, "Apakah engkau telah gila seperti dayang­-dayangmu itu?"

Kini Asiah merasa sudah benar-benar lepas dari Fir'aun serta merasa siap dengan siksaan yang bakal dihadapi. Maka tidak ada gunanya lagi untuk takut terhadap suaminya yang zhalim itu. la semakin berani menentang Firaun, "Aku tidak gila. Tetapi aku beriman kepada Tuhanku, Tuhanmu, dan Tuhan semesta alam ini"

Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata kemarahaa Fir'aun saat itu, karena merasa dikhianati oleh orang yang paling dekat dan paling dicintainya.

Seketika itu Fir'aun menyuruh pengawalnya untuk mendirikan empat tiang. Lalu diikatnya kaki dan tangan Asiah pada keempat tiang tadi dengan tubuh terlentang. Kemudian Fir'aun memerintahkan kepala algojo untuk mencambuk Asiah dengan keras.

Di sela-sela penyiksaan yang kejam itu, Fir'aua masih membujuk Asiah supaya kembali kepadanya. Tetapi Asiah tidak menggubrisnya. la tetap pada keimanannya. Di mulutnya yang lemah, sesekali terdengar ucapan, 'Tiada Tuhan selainAllah:'

Semakin keras cambukan yang diterimanya, semakin kuat pula iman yang tertancap di dada wanita shalihah ini. Hingga akhimya, Fir'aun menindih tubuh Asiah dengan batu besar.

Namun sebelum itu, Asiah sempat mengucapkan doa yang amat terkenal dan diabadikaa dalam AI-Quran, "Ya Allah, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum yang zhalim." (QS At­Tahrim: 11).

Seketika itu pula Asiah melihat malaikat yang membentangkan sayapnya untuk melindunginya, dan diperlihatkan kepadanya sebuah rumah yang telah disediakan untuknya. Asiah pun tersenyum sesaat, sebelum embusan napasnya yang terakhir.

Karena itu, ketika siksaan Fir'aun mencapai puncaknya, yaitu menaruh batu yang sangat besar dan berat di atas tubuh Asiah, sesungguhnya wanita shalihah itu sudah tidak bernyawa. Sehingga ia tidak merasakan lagi puncak penyiksaan itu.

Edisi 133, 11 April 2008 / 05 Rabi'uts Tsani 1429 H

Wednesday, May 7, 2008

Akhlak Seorang Muslim

Edisi Jum’at : 2 Mei 2008

MAJELIS TAKLIM

W A D D A ' W A H

LIL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS

AKHLAK SEORANG MUSLIM TERHADAP ALLAH SWT.

Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya , Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah-lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain. Diantara akhlak terhadap Allah SWT adalah :

1. Taat terhadap perintah-perintah-Nya
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada dirinya. Allah berfirman (QS.4:65): “Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seorang muslim kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rosulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas dengan bersabda (yang artinya): “Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku (Al-Qur’an dan Sunnah).” (HR.Abi Ashim al-syaiban)

2. Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.
Etika kedua yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya, kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karenya, seorang mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda (yang artinya):
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda (yang artinya),
“ Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/imam/ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Muslim)

3. Ridha terhadap ketentuan Allah SWT.
Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya.
Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin (baca; tsaqih) terhadap apapun yang Allah berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda (yang artinya):
“sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.”(HR. Bukhari).
Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah memiliki kebaikan bagi diri kita.

4. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam al-Qur’an Allah berfirman(QS.3:135):
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.”

5. Obsesinya adalah keridhaan Ilahi.
Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, akan memiliki obsesi dan orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia tidak beramal dan beraktivitas untuk mencari keridhaan atau pujian atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan Allah tersebut ‘terpaksa’ harus mendapatkan ‘ketidaksukaan’ dari para manusia lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita:
“Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan ‘adanya’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan mewakilkan kebencian-Nya pada manusia.”(HR. Tirmidzi, Al-Qadha’i dan ibnu Asakir).
Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya. Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman, orientasi yang dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan peduli, apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dpuji oleh orang lain.

6. Merealisasikan ibadah kepada-Nya.
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. baik ibadah yang bersifat mahdhah, atauppun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada hakekatnya, seluruh aktivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT. dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS.51:56):
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak-gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdhah saja, seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya.
Perealisasian ibadah yang paling penting untuk dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerapkan hukum Allah di muka bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman hidup yang direalisasikan oleh masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.

7. Banyak membaca Al-Qur’an.
Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan firman-firman-Nya. Seseorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya.
Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi manakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang demikian besarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari kiamat kepada para pembacanya.”(HR. Muslim)
Adapun bagi mereka-mereka yang belum bisa atau belum lancar dalam membacanya, maka hendaknya ia senantiasa mempelajarinya hingga dapat membacanya dengan baik.
Kalaupun seseorang harus terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an tersebut, maka Allah pun akan memberikan pahala dua kali lipat bagi dirinya. Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda (yang artinya):
“Orang (mukmin) yang membaca Al-Qur’an dan ia lancar dalam membacanya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi suci. Adapun orang mukmin yang membaca Al-Qur’an, sedang ia terbata-bata dalam membacanya, lagi berat (dalam mengucapkan huruf-hurufnya), ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat.”(HR. Bukhori Muslim).
"Wallahu A'lamu Bishowab"









































Tuesday, April 22, 2008

Rumah Tangga Rosulullah

Edisi Jum'at, 18 April 2008

Thursday, February 21, 2008

Reog (Ponorogo)

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Salah satu tarian Pembuka

Topeng barong reog yang dipakai sebagai atraksi penutup
Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok Warok dan Gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat Reog dipertunjukkan [1] . Reog adalah salah satu bukti budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
Daftar isi[sembunyikan]
1 Sejarah Reog Ponorogo
2 Pementasan Seni Reog
3 Kontroversi
4 Catatan dan referensi
5 Lihat pula
//

[sunting] Sejarah Reog Ponorogo
Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok [2], namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya [3]. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya [4] .
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

[sunting] Pementasan Seni Reog

Reog Ponorogo
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

[sunting] Kontroversi
Tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan[5]. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo [6]. Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan "Malaysia" [7] dan diaku menjadi warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia - dan hal ini sedang diteliti lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia. [8]. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia [8]. Ribuan Seniman Reog pun menggelar demo di depan Kedutaan Malaysia [9]. Berlawanan dengan foto yang dicantumkan di situs kebudayaan, dimana dadak merak dari versi Reog Ponorogo ditarikan dengan tulisan "Malaysia" [10], Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain pada akhir November 2007 kemudian menyatakan bahwa "Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri jiran tersebut [11].

[sunting] Catatan dan referensi
^ (en) Ian Douglas Wilson: Reog Ponorogo Spirituality, Sexuality, and Power in a Javanese Performance Tradition
^ (id) Reog di Jawa Timur, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1978-9
^ (id) Herman Joseph Wibowo. Drama Tradisional Reog: Suatu Kajian Sistem Pengetahuan Dan Religi,' in Laporan Penelitian JARAHNITRA, Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 1995-6, pp. 1-59, dan kaset video no 24, 14/7/1991, arsip video milik Josko Petkovic.
^ (en) Blog Parvita: Reog Ponorogo pindah ke Malaysia?
^ Situs Resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia
^ (id) Reog Malaysia produk Ponorogo
^ (id) Media Indonesia: Soal Reog Bupati Ponorogo akan 'Lawan' Malaysia
^ a b (id) Detik.com: Mirip Tari Reog Pemerintah Indonesia akan teliti Tari Barongan Malaysia
^ (id) Ribuan Seniman Reog Demo di Kedutaan Malaysia
^ (my)Situs Resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia
^ (id) Sinar Harapan

Tuesday, January 8, 2008

Software Bajakan

Undang-undang Hak Cipta secara sejarah Islam awalnya memang belum dikenal, karena umumnya filosofi para penemu dan pencipta termasuk pengarang karya-karya besar dalam Islam hanya bertujuan untuk mendapat ridha dan pahala dari Allah semata. Sama sekali jauh dari tujuan materi dan kekayaan.
Karena itu dalam literatur klasik fiqih Islam, kita tidak mengenal hak cipta sebagai sebuah hak milik yang terkait dengan kekayaan finansial. Justru semakin dibajak atau ditiru akan semakin banggalah dia dan semakin banyak pahalanya. Selain itu juga ada rasa kepuasan tersendiri dari segi psikologisnya. Apa yang mereka lakukan atas karya-karya itu jauh dari motivasi materi / uang. Sedangkan untuk penghasilan, para ulama dan ilmuwan bekerja memeras keringat. Ada yang jadi pedagang, petani, penjahit dan seterusnya. Mereka tidak menjadikan karya mereka sebagai tambang uang.
Karena itu kita tidak pernah mendengar bahwa Imam Bukhori menuntut seseorang karena dianggap menjiplak hasil keringatnya selama bertahun-tahun mengembara keliling dunia. Bila ada orang yang menyalin kitab shohihnya, maka beliau malah berbahagia. Begitu juga bila Jabir Al-Hayyan melihat orang-orang meniru / menjiplak hasil penemuan ilmiyahnya, maka beliau akan semakin bangga karena telah menjadi orang yang bermanfaat buat sesamanya.
Hak cipta barulah ditetapkan dalam masyarakat barat yang mengukur segala sesuatu dengan ukuran materi. Dan didirikan lembaga untuk mematenkan sebuah ?penemuan? dimana orang yang mendaftarkan akan berhak mendapatkan royalti dari siapa pun yang meniru / membuat sebuah formula yang dianggap menjiplak.
Kemudian hal itu menjalar pula di tengah masyarakat Islam dan akhirnya dimasa ini, kita mengenalnya sebagai bagian dari kekayaan intelektual yang dimiliki haknya sepenuhnya oleh penemunya.
Berdasarkan `urf yang dikenal masyarakat saat ini, maka para ulama pada hari ini ikut pula mengabsahkan kepemilikan hak cipta itu sebagaimana Ketetapan (Qoror) dari Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami, sebuah forum yang terdiri dari para ulama kontemporer yang bermarkaz di Jeddah Saudi Arabia.
Ketetapan (Qoror) dari Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami menyebutkan bahwa secara umum, hak atas suatu karya ilmiyah, hak atas merek dagang dan logo dagang merupakan hak milik yang keabsahaannya dilindungi oleh syariat Islam. Dan merupakan kekayaan yang menghasilkan pemasukan bagi pemiliknya. Dan khususunya di masa kini merupakan `urf yang diakui sebagai jenis dari suatu kekayaan dimana pemiliknya berhak atas semua itu. Boleh diperjual-belikan dan merupakan komoditi. (lihat Qoror Majma` Al-Fiqh Al-Islami no.5 pada Muktamar kelima 10-15 Desember 1988 di Kuwait).
Namun dalam prkatek kesehariannya, ada juga hal-hal yang perlu diperhatikan selain demi kemashlahatan para pemilik hak cipta itu, yaitu hak para konsumen yang ternyata juga terhalang haknya untuk mendapatkan karya yang seharusnya.
Utnuk itu ada jawaban tentang pertanyaan senada dalam situsi ini pernah kami tampilkan. Menurut hemat kami, wacana ini penting pula untuk diperhatikan agar terjadi keadilan dalam setiap sisinya.
Misalnya masalah perampasan pematenan hak cipta serta monopoli produk.
Kasus Perampasan Pematenan
Kasus pematenan pembuatan tempe beberapa waktu yang lalu oleh pihak asing adalah contoh hal yang naif tentang dampak negatif pematenan ini. Bagaimana mungkin tempe yang entah sudah berapa generasi menjadi makanan orang Indonesia, tiba-tiba dipatenkan oleh orang dari luar negeri atas namanya. Jadi bila nanti ada orang Indonesia membuat pabrik tempe yang besar dan bisa mengekspor, harus siap-siap diklaim sebagai pembajak oleh mereka. Karena patennya mereka yang miliki.
Jadi setiap satu potong tempe yang anda makan, sekian persen dari harganya masuk ke kantong pemegang paten. Padahal mereka barangkali tidak pernah makan tempe. Dalam kasus seperti ini, bagaimana mungkin kita dikatakan sebagai pencuri hasil karya mereka ? Padahal tempe adalah makanan kebangsaan kita, bukan ? Sehingga nama tempe begitu akrab di telinga dan entah karena motivasi apa, kita sering menyebut kita ini sebagai bangsa tempe.
Monopoli Produk
Dalam perkembangan berikutnya, yang perlu dicermati dalam masalah hak cipta dan hak paten ini adalah kecenderungan ke arah monopoli produk. Karena begitu sebuah perusahaan memegang hak paten atas formula produknya, secara hukum hanya mereka yang berhak untuk memproduksi barang tersebut atau memberikan lisensi. Dan otomatis, mereka pulalah yang menentukan harga jualnya. Bila ada orang yang menjual produk yang sama tanpa lisensi dari pihak pemegang paten, maka kepada mereka hanya ada dua pilihan, bayar royalti atau didenda.
Masalahnya timbul bila pemegang paten merupakan perusahaan satu-satunya yang memproduksi barang tersebut di tengah masyarakat dan tidak ada alternatif lainnya untuk mendapatkan barang dengan kualitas sama, padahal barang itu merupakan hajat hidup orang banyak. Bila pemegang hak paten itu kemudian menetapkan harga yang mencekik dan tidak terjangkau atas barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, maka jelas telihat unsur ketidak-adilannya.
Dengan kata lain, produsen itu ingin mencekik masyarakat karena mereka tidak punya pilihan lain kecuali membeli dengan harga yang jauh di atas kemampuan mereka.
Kasus Microsoft
Dalam kasus software bajakan, memang microsoft termasuk software yang paling banyak dibajak di Indonesia. Bahkan bisa jadi jumlah software bajakannya melebihi aslinya. Hal ini karena didukung oleh lemahnya pengawasan masalah pembajakan dan kurangnya kesadaran hukum para pengguna komputer di Indonesia. Termasuk pengguna muslimnya.
Kalau kita jujur dengan hukum syariat Islam yang berkembang sekarang ini, maka menggunakan produk software bajakan termasuk hal yang dilarang dalam syariat. Karena biar bagaimana pun hak ciptanya ada pada perusahaan tersebut. Kalau ingin menggunakannya, maka satu-satunya jalan adalah dengan membeli aslinya (original) baik FPP (Full Package Product) maupun OEM (Original Equipment Manufacturer). Harganya tentu lumayan mahal bisa mencapai ratusan dollar atau sekian juta rupiah. Bahkan mungkin bisa melebihi harga hardwarenya.
Padahal software bajakannya harganya hanya Rp. 15 s/d 20 ribu saja, itupun sudah lengkap Windows dengan Office-nya. Bahkan berisi sekian versi dari 98, 98 SE, W2000, Me dan Xp. Bahkan setiap pembelian hardware komputer, biasanya sudah diinstallkan sekalian dengan windows dan office-nya. Seolah software itu tidak ada harganya.
Dan sayangnya lagi, para pengguna muslim baik individu maupun lembaga yang berlabel Islam seperti yayasan, organisasi, pengajian, madrasah, perguruan tinggi sampai partai Islam sekalipun menggunakan software BAJAKAN yang terang-terangan dilarang. Sebenarnya ini adalah kontradiksi, karena sebagai lembaga yang mengusung nama Islam, tentunya harus konsekuen dengan hukum dan syariat Islam.
Barangkali para pengguna produk bajakan itu ingin beralasan bahwa microsoft itu kan milik orang non muslim. Atau beralasan bahwa produk asli itu kan mahal sekali sehingga tidak mampu untuk membelinya sehingga menjadi darurat.
Kedua alasan itu sebenarnya bisa dijawab demikian :
· Bahwa sebuah produk itu milik non muslim tidak berarti kita boleh mengambilnya atau membajaknya, karena Islam menjamin hak milik orang non muslim dan menghormatinya. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pun harus melakukan proses jual beli dengan para Yahudi di Madinah, padahal kekusaan di tangan beliau. Kalau memang hak milik non muslim itu halal diambil dan dibajak, maka mengapa Rasulullah SAW tidak menyita semua barang dagangan yahudi saja ?
· Hukum darurat itu hanya berlaku bila tidak ada alternatif lainnya yang bisa menjadi solusi dalam suatu perkara. Itu pun tetap dalam batas yang diperlukan saja. Sedangkan dalam kasus software dan sistem operasi komputer, masih banyak pilihan lainnya yang bisa dilakukan dan nyaris tanpa biaya alias gratis. Yaitu berhijrah dari windows ke Linux.
Linux sendiri adalah sistem operasi dan software yang bersifat open source alias gratis digunakan oleh siapa saja. Sourcenya bisa didownload di internet secara gratis pula. Sedang kemampunannya, nyaris hampir mendekati windows meksi tidak terlalu sempurna. Tapi kalau sekedar mengambil alih peranan office-nya microsoft, open office-nya Linux sudah bisa diandalkan. Yang perlu tinggal kesadaran dan kemauan dari para penentu kebijakan dari tiap lembaga itu untuk melakukan perpindahan DARIWINDOWSKELINUX . Sesuai dengan nama sebuah situs yang khusus bicara masalah itu yaitu www.dariwindowskelinux.com.
Jadi menurut hemat kami, jalan keluar masih ada dan kata darurat masih belum bisa diberlakukan. Karena masih ada alternatif lain yaitu dengan menggunakan OS lainnya yang malah gratis. Yang diperlukan hanya satu, kesiapan mental kita untuk berani beralih ke sesuatu yang lebih jelas hukumnya daripada tidak jelas.
Powered By Blogger