Thursday, August 6, 2009

JADILAH PEMIMPIN DENGAN CINTA

JADILAH PEMIMPIN DENGAN CINTA

Banyak orang bermimpi dan bercita-cita menjadi seorang pemimpin, bahkan untuk mewujudkan harapannya itu terkadang mereka tidak memperdulikan lagi halal atau haram, merugikan orang lain atau tidak. seakan-akan kekuasaan adalah segala-galanya. Satu tahta kekuasaan diperebutkan banyak orang, sementara yang menaiki tahta itu pastilah hanya satu orang saja yang pada saatnya iapun akan turun dari tahta itu dan digantikan oleh orang lain.
Tetapi sekalipun sudah tidak berkuasa, tanggung jawab dan beban akan tetap berada di pundaknya sehingga dia mampu untuk berdiri kelak di hadapan Dzat yang Maha Berkuasa, di depan pengadilan dan akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang pernah dipimpinnya.
Apakah mereka sudah lupa ataukah dilalaikan oleh nafsunya dari sabda Rasulullah.”Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya”.
untuk itulah hendaknya para pemimpin negeri ini menjadikan Rasulullah dan para sahabat beliau sebagai uswah (teladan) dalam kepemimpinan mereka dan kejujuran serta ketegasan mereka dalam menjalankan roda pemerintahan yang adil dan sesuai dengan syari’at. Sehingga dapat diharapkan rakyat ini menjadi makmur dan sejahtera sebagaimana hal itu sudah sejak lama didambakan oleh setiap manusia.
Berikut ini beberapa contoh kisah keteladanan para pemimpin umat yang telah berhasil memakmurkan rakyatnya dan menghantar mereka menuju kehidupan yang lebih baik dan adil.

Memimpin dengan Cinta

Suatu saat Abdullah Al-Bajaliy, salah seorang sahabat Nabi, terlambat dating di majelis Rasulullah SAW. karena dating terlambat, temaptpun sudah penuh. Dia lalu mencari-cari tempat duduk.
Nabi membuka gamisnya. Dengan tangannya sendiri, beliau melipat baju itu, lalu mengantarkannya kepada Abdullah. ”Ini untuk tempat dudukmu.” kata Rasulullah.
Tapi, Abdullah tidak mendudukinya. Dia malah mencium baju Nabi SAW. Dengan mata berlinang haru ia berkata, “Ya Rasulullah, semoga Allah memuliakanmu sebagaimana engkau telah memuliakanku.”
Dengan tersenyum Nabi berkata.”Bila datang kepada kalian seorang yang mulia dari suatu kaum, muliakanlah dia.”
Peristiwa tersebut adalah penggalan kehidupan Nabi SAW bersama sahabatNya yang mengesankan. Didalamnya terkandung makna penghormatan, perhatian, dan kasih sayang. Perlakuan seorang sahabat terhadap sahabatnya. Seorang guru terhadap muridnya. Seorang pemimpin terhadap rakyatnya.
Rasulullah adalah profil tentang sosok pemimpin yang sukses besar dalam kepemimpinannya. Ia mengubah dengan sangat cemerlang pribadi-pribadi jahil dari gurun menjadi pemimpin peradaban di masanya. Dan kebesarannya tidak terukur lewat kemampuannya untuk memaksa orang lain mengikutiNya. Ia memimpin dengan cinta. Kebesarannya terukur dari ketinggian akhlaqnya.
Pada peristiwa Hudaibiyah, Urwah Ats Tsaqafi mewakili kaum Quraisy untuk berunding dengan Rasulullah SAW. Dia terpesona dengan cara sahabat memperlakukan Nabi SAW. Ketika beliau berwudlu, orang memperebutkan air ludahnya, dan ketika rambutnya jatuh, orang berdesakan mengambil rambutnya.
Ketika Urwah kembali ke kaumnya, dia berkata ”Hai kaum Quraisy, aku pernah mendatangi Kisra di kerajaannya, aku pernah menemui Kaisar di keratonnya, Najasyi di istananya. Belum pernah aku melihat orang memperlakukan rajanya seperti sahabat-sahabat Muhammad memperlakuan Muhammad.”
Urwah benar. Bila Rasulullah datang ke sebuah tempat, manusia berbondong-bondong menemuinya. Mereka berdesak-desakan untuk sekedar mencium tangannua. Perempuan membawa anak-anak mereka, meminta Nabi mengusapkan jari-jemarinya pada wajah anak-anak itu sambil mendoakannya.
Hanya untuk lebih dekat dengan Rasulullah, tidak jarang para sahabat mencari akal. Seperti yang dilakukan oleh Sawad bin Ghazyah dalam perang Badar. Ketiak Nabi sedang meluruskan barisan. Sawad maju ke muka. Rasulullah memukul perutnya dengan anak panah, “Luruskan barisanmu, wahai Sawad!”.
Sawad memprotes. ”Ya Rasulullah, engkau menyakitiku, padahal Allah telah mengutusmu dengan membawa kebenaran dan keadilan. Aku ingin menuntun qishash.” Para sahabat yang yang lain berteriak, “Hai engkau mau menuntut balasa kepada Rasulullah SAW.” Nabi SAW menyingkapkan perutnya, dan berkata, “Balaslah …” Tapi Sawad malah memeluk tubuh Nabi SAW dan menciumnya. Rasul bertanya, “Hai Sawad, apa yang mendorongmu untuk melakukan ini?” Sawad berkata, “Ya Rasulullah, sudah terjadi apa yang engkau persaksikan. Ingin sekali pada akhir pertemuanku denganmu kulitku menyentuh kulitmu. Berilah aku syafa’at pada hari Kiamat.” Nabi SAW kemudian mendoakan kebaikan baginya.
Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang ditaati karena cinta. Namun bukan berarti beliau tidak berwibawa. Simak cerita Usamah bin Syarik berikut, “Bila kami duduk mendengarkan Rasulullah, kami tidak sanggup mengangkat kepala kami, seakan-akan di atas kepala kami bertengger burung-burung.”
Al-Barra bin Azib berkata. ”Aku bermaksud bertanya kepada Rasulullah SAW tentang satu urusan, tetapi aku menangguhkannya sampai dua tahun karena segan akan wibawanya.”
Pernah juga seorang dusun menemui Nabi SAW. Tubuhnya bergetar sehingga Nabi berusaha menenangkannya.”Tenangkan dirimu,” Kata Rasulullah.” Aku ini manusia biasa …”
Nabi berwibawa karena dicintai olah pengikutnya. Memimpin dengan cinta.
Keteladannya itulah yang mestinya diikuti para pemimpin di negeri ini. Seorang penguasa yang memimpin dengan cinta tentu tak akan tega melihat rakyatnya hidup menderita.

Menyayangi Kaum Dhu’afa

“Aku menjadi pelayan Rasulullah SAW selama sepuluh tahun. Belu pernah beliau memukulku satu pukulan pun, tidak pernah membentakku atau bermuka masam kepadaku. Bila aku malas melakukan apa yang diperintahnya, beliau tidak memamkiki. Bila salah seorang diantara keluarganya mengecamku, beliau berkata, “Biarkanlah dia,” demikian pengakuan Anas bin Malik, khadan (pembantu) Rasulullah.
Anas juga berserita bagaimana Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk memperlakukan pembantunya dengan baik. Mereka harus makan makanan yang sama dengan apa yang dimakan tuan mereka. Mereka tidak boleh dipermalukan atau dipanggil dengan panggilan yang tercela.
Menurut Anas, Rasulullah SAW sering kali melayani para pelayan di Madinah. NAbi SAW juga tidak jarang mengantarkan budak-budak untuk memenuhi keperluan mereka, bahkan perempuan yang sudaj pikun.
Pada suatu hari, para sahabat menemukan Rasulullah SAW sedang memperbaiki sandal anak yatim, dan pada hari yang lain sedang menjahit pakaian kumal milik perempuan tua yang miskin.
Beliau mengumpulkan sebagian sahabatnya yang miskin di sudut masjidnya, lalu membagikan makanan sedikit yang dipunyainya untuk mereka. Sehingga beliau tidak pernah makan kenyang selama tiga hari berturut-turut.
Abu Hurairah juga menceritakan betapa Rasul sangat merasa kehilangan seorang perempuan hitam yang pekerjaannya “hanya” menyapu masjid, yang oleh sebagian orang, bahkan juga sahabat, dianggap remeh.
Suatu hari beliau tidak menemukan wanita itu, Rasulullah menanyakan ihwalnya, dan beliau sangat kecewa ketika ia meninggal dan beliau tidak dikabari.”Kenapa aku tidak diberitahu!”
Lalu Rasulullah meminta ditunjukkan kuburnya. Di atas kuburan perempuan tersebut Rasulullah SAW melakukan shalat untuknya.
Mari kita simak juga kisah Sa’d bin Muadz Al-Anshari. Waktu itu Rasulullah SAW pulang dari Tabuk. Beliau melihat tangan Sa’d yang menghitam dan melepuh.
“Kenapa tanganmu?” Tanya Rasulullah.
“Akibat palu dan sekop besi yang sering saya pergunakan untuk mencari nafkah untuk keluarga yang menjadi tanggunganku.”
Maka Rasulullah SAW pun memegang tangan itu dan bersabda,”Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.”
Lihatlah, betapa Rasulullah SAW, yang tangannya diperebutkan untuk dicium, saat itu memegang tangan kasar. Begitulah beliau, sang pemimpin besar dunia dan akhirat, memperlakukan kaum dhuafa.


Sayyiidina Umar bin Khattab

Suatu malam, seperti malam-malam sebelumnya, Umar bin Khaththab mengendap berjalan keluar dari rumah petak sederhana.
Masih seperti malam kemarin, ia sendirian menelusuri jalanan yang sudah seperti napasnya sendiri. Dengan udara padang pasir yang dingin tertiup, ia menulam langkah-langkah merambahi rumah-rumah yang penghuninya ditelan lelap. Ia tak ingin malam itu terlewati tanpa mengetahui bahwa mereka baik-baik saja. Sungguh tak akan pernah rela ia harus berselimut dalam rumahnya tanpa kepastian di luar sana tak ada derita.
Madinah sudah tersusuri, malam sudah hamper di puncak. Angkasa bertabur kejora. Ia masih berjalan, meski lelah jelas terasa. Sesekali ia mendongak, melabuhkan pandangan ke langit Madinah yang terlihat jelita. Maka ia pun tersenyum seperti terhibur dan memuja Sang Pencipta. Tak terasa Madinah sudah ditinggalkan, ia berjalan sudah sampai di luar kota.
Namun langkahnya terhenti ketika dilihatnya seorang lelaki yang tengah duduk sendirian menghadap sebuah pelita.
“Assalamu’alaikum, wahai Fulan,” ia menegur lelaki itu dengan santun.” Apakah yang engkau lakukan malam-malam begin sendirian?”
Lelaki itu tidak jadi menjawab ketika didengarnya dari dalam tenda suara perempuan yang memanggilnya dengan mengaduh. Dengan tersendat ia memberi tahu bahwa istrinya akan melahirkan. Ia bingun, karena tak ada sanak saudara yang dapat diminta pertolongannya.
Setengah berlari Umar bin Khaththab yang pergi, menuju rumah sederhananya yang masih sangat jauh. Ia menyeret kakinya yang sudah lelah karena telah mengelilingi Madinah. Ia terus saja berlari, meski kakinya merasakan dengan jelas batu-batu yang dipijaknya sepanjang jalan. Tentu saja karena alas kakinya telah tipis dan dipenuhi lubang. Ia jadi teringat kembali sahabat-sahabatnya yang mengingatkan agar ia membeli sandal yang baru.
“Ummi Kultsum, bangunlah, ada kebaikan yang bisa kau lakukan malamm ini.” ia mmbangunkan istrinya dengan napas tersengal.
Sosok perempuan itu menurut tanpa sepatah kata. Dan kini sang khalifah tak lagi sendiri berlari. Berdua mereka membelah malam. Allah menjadi saksi keduanya dan memberikan rahmat hingga dengan selamat mereka sampai di tenda lelaki yang istrinya akan melahirkan itu.
Ummi Kultsum segera masuk dan membantu persalinan.
Allah Maha Besar, suara tangis bayi pun terdengar. Ibunya selamat. Lelaki itu bersujud mencium tanah dan kemudian menghampiri Umar bin Khaththab sambil berkata,”Siapakah engkau, yang begitumullia menolong kamu?”
Sang khalifah tidak perlu memberikan jawaban, karena suara Ummi Kultsum saat itu memenuhi lengangnya udara, “Wahai Amirul Mu’minin, ucapkan selamat kepada tuan rumah. Telah lahir seorang anak laki-laki yang gagah.”
Betapa terpesona kita mengenang kisah indah Khalifah Umar bin Khaththab. Ia adalah seorang pemimpin Negara, tapi sejarah mengabadikan, kesehariannya sebagai orang sederhana tanpa berlimpah harta. Ia adalah orang yang paling berkuasa, tapi lembaran kisah hidupnya begitu penuh pengabdian dan kerja keras dalam mengayomi seluruh rakyatnya. Ia orang nomor satu, tapi siang dan malamnya jarang dilalui dengan pengawal.
Ia seorang penyayang, meski kepada seekor burung. Ia anggap berlari tanpa henti demi menolong seorang perempuan tak dikenal yang akan melahirkan. Dan ia melakukannya sendiri. Ia melakukannya sendiri.

Tahun Abu

Di zaman Khalifah Umar bin Khaththab, pada tahun ke- 17 Hijriyyah, pernah terjadi bencana kelaparan yangmengerikan. Penyebabnya, di seluruh Semenanjung Arab (Hijaz) tidak turun hujan selama enam bulan, dan terjadi hujan abu dari gunung. Tanah menjadi hitam gersang penuh abu dan mematikan segala tanaman di atasnya. Tahun tersebut dinamai “Tahun Abu” (AmarRamaadah).

Hewan-hewan yang ada kurus kering, tetapi karean mereka lapar akhirnya hewan-hewan itu pun terpaksa disembelih.
Penduduk di pedalaman ramai-ramai mengungsi ke Madinah. Umar sendiri ikut mengurus makanan penduduk Madinah dan para pengungsi. Ia turut mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah.
Suatu waktu, Umar disuguhi roti yang yang diremukkan dengan samin (lemak). Ia memanggil seorang Badui dan roti itu dimakan bersama-sama.
Setiap kali menyuap, mulut orang Badui tersebut berlepotan. “ Tampaknya engkau tak pernah mengenyam lemak.” Kata Sayyidina Umar.
“Ya,” orang Badui itu mengaku tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun, dan ia juga tak melihat orang memakannya sejak sekian lama sampai saat itu.
Mendengar pengakuan tersebut, Sayyiduna Umar bersumpah, sejak saat itu tidak akan lagi makan daging atau samin sampai orang hidup seperti biasa. Ia tetap bertahan dengan sumpahnya, sampai dengan izin Allah musim paceklik berakhir.
Ia melayani dan menyertai mereka semua untuk memberi ketenangan. Banyak orang mengatakan, andai kata paceklik tersebut berjalan lebih lama lagi, Sayyiduna Umar-lah yang paling menderita dan hidup dalam kesedihan memikirkan kaum muslimin.
Powered By Blogger