Monday, September 15, 2008

Dengan Puasa (Lapar) Mengharap Kedekatan Kepada Allah

MAJLIS TAKLIM
WADDA’WAH
LIL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS
============================================================================
Dengan puasa (lapar)
Mengharap kedekatan kepada Allah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menyampaikan kita kembali kepada bulan yang suci ini. Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan rahasia. Mudah-mudahan Ramadhan kali ini menjadi lebih baik dan sempurna dari yang sebelumnya, dengan kita menghasilkan kualitas ibadah dan ketaatan di dalamnya.
Dan sungguh nerupakan kerugian yang besar jika seorang hamba tidak dapat memaksimalkan ibadah di bulan suci ini. Bukankah Nabi Muhammad SAW sudah menjanjikan, “Barang siapa berpuasa di dalam Ramadhan dengan penuh keimanan (meyakini akan janji baik Allah bagi mereka) dan hanya mengharap ridho Allah semata, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat”.(HR. Bukhori Muslim).
Shiyam (puasa) meruapakan ibadah yang sangat penting. Begitu pentingnya, sehingga Allah SWT menganggapnya sebagai milik-Nya sebagaimana dalam hadist qudsi Allah berfirman, “Sesungguhnya dia (puasa) adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahalanya”. Karena puasa merupakan ibadah khusus yang bahkan “diurus sendiri” oleh Allah SWT, boleh dikata puasa merupakan ibadah yang sarat dengan rahasia, tapi pahalanya tanpa batas.
Pahala yang tak terbatas itu ialah masuk surga, yang prioritasnya ditentukan oleh Allah SWT. Salah satu prioritas yang ditentukan oleh Allah SWT sehingga seorang hamba masuk surga ialah karena ibadah puasanya yang bersungguh-sungguh. Suatu saat Rasulullah SAW berkata kepada istri tercintanya, Sayyidah ‘Aisyah RA. “Sering-seringlah mengetuk pintu surga.”
Aisyah RA bertanya, “Dengan (cara) bagaimana?”
Beliau menjawab. “ Dengan rasa lapar.”
Memang, ada kedekatan atau keterkaitan antara rasa lapar (puasa) dengan pintu surga. Dalam sebuah hadits, Abu Umamah bercerita. “Aku pernah mendaangi Rasulullah seraya berkata, “Perintahkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku kedalam surga.”
Beliau menjawab, “Hendaklah engkau berpuasa karena puasa merupakan amalan yang tidak ada tandingannya.”
Kemudian aku mendatangi beliau untuk kedua kalinya, dan beliau bersabda (yang artinya) dengan nasihat yang sama.” (HR. Ahamd, Nasa’I, dan Al-Hakim).
Para ahlus shiyam (mereka yang selalu berpuasa) masuk surga dari pintu khusus yang disebut pintu Ar-Rayyan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda (yang artinya): Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat diserukan dari pintu itu. “Dimanakah orang-orang yang berpuasa?” Jika mereka semua orang-orang yang berpuasa telah masuk, pintu itupun ditutup kembali.”
Ahlus shiyam terbaik yang sangat layak diteladani ialah Rasulullah SAW. menurut sahabat Anas bin Malik, suatu hari Sayidah Fatimah RA, putri Rasulullah SAW menyampaikan remah-remah roti kepada Rasulullah SAW.”Saya tidak akan merasa tenang sebelum dapat memberikan remah-remah roti ini kepada Ayahnda.” Ujar Sayidah Fatimah RA.
Seketika itu Rasulullah SAW menjawab pelan, “Remah-remah roti ini adalah makanan pertama yang masuk ke dalam mulut ayahndamu selama tiga hari ini.”
Karena sering lapar itulah, terutama karena memang setiap kali tidak ada makanan, Rasulullah SAW lazim mengganjal perut dengan sebuah batu seukuran kepalan tangan. Itu tak berarti tugas dakwah berhenti hanya lantaran perut lapar. Dakwah dan perjuangan jalan terus, meski dalam keadaan berpuasa. Sebab, bagi Rasulullah SAW, dalam keadaan seperti itulah pintu surga terbuka lebar.
Puasa di bulan Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan, sebagimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183. Sudah banyak diketahui betapa besar keutamaan bulan Ramadhan. Imam Ibn Abdi Dun-ya meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Sekiranya orang mengetahui keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka berharap-harap agar Ramadhan berlaku sepanjang tahun.”
Itu tak berarti bahwa keutamaan dan pahala puasa sunnah itu kurang. Sebab Rasulullah SAW juga menganjurkan kita berpuasa di hari-hari tertentu di luar bulan Ramadhan. Seperti puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), puasa Asyura pada bulan Muharram, puasa enam hari pada bulan Syawwal, puasa 15 hari pada bulan Sya’ban , puasa 10 hari pertama pada bulan Dzulhijjah, puasa pada pertengahan bulan Qamariyah (tanggal 13, 14, 15), puasa pada hari Senin dan Kamis, puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari berbuka).
Bahkan ada ulama yang melakukan puasa dahr, yaitu puasa sepanjang tahun kecuali lima hari yang terlarang, yaitu pada dua hari raya (Idul Fitri dan ‘Idul Adha), dan pada tiga hari tasyriq (tiga hari setelah ‘Idul Adha, 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah).
Puasa dahr dilakukan oleh Fudhail bin Iyadh, yang selalu berpuasa padahal dia seorang perampok.
Bagaimana mungkin seorang perampok berpuasa dan beribadah?
Fudhail menjawab, “Tidakkah Allah, Yang Maha Kuasa, berfirman,”Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,mereka mencampurbaurkan amal kebajikan dan kejahatan. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampunan dan Maha Penyayang.”(QS. At-Taubah:102). Akhirnya perampok itu bertaubat, dan di kemudian hari menjadi seorang sufi besar.
Dari kisah sufi besar tersebut, kita mendapat pelajaran bahwa meskipun telah melakukan berbagai perbuatan dosa, kalau mau berpuasa, kita akan teretuntun untuk bertaubat, sehingga mendapat ampunan Allah SWT.
Puasa juga merupakan amalan penting di kalangan para sufi. Bagi sufi besar Junaid Al-Baghdadi (wafat. 298 H/910 M), puasa adalah separuh tarekat (jalan menuju Allah). Selain tentu saja memenuhi tuntutan syariat, juga untuk menafikan kemauan diri sekaligus menghindar dri sifat riya’.
Apalagi, puasa, yang hakikatnya adalah menahan hawa nafsu, sesungguhnya mencakup seluruh metode tarekat. Puasa kaum sufi tentu saja tidak hanya menahan lapar dan dahaga, melainkan juga menahan kecenderungan panca indera terhadap hal-hal yang tidak baik, terutama mengatur qalbu, sehingga semakin dekat dengan Allah SWT.
Menahan lapar dan dahaga, sudah pasti. Tapi, puasa yang bernilai tinggi ialah yang mampu menjaga mata dari pandangan yang menimbulkan gairah syahwar, menjaga telinga dari mendengarkan ucapan tidak baik tentang seseorang di belakangnya, menjafa lisan dari kata-kata buruk yang sia-sia, dan menjaga seluruh jasad dari mengikuti hal-hal duniawi yang menjauhkan dari Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW,”Ketika engkau berpuasa, biarkan pendengaranmu berpuasa, demikian pula mata, mulut, tangan, dan setiap anggota tubuhmu, sebab, banyak orang yang tidak mendapatkan apa-apa dalam puasanya kecuali lapar dan dahaga.”
Dan ternyata jika tubuh dalam keadaan lapar, hal itu bisa mencerdaskan dan menyehatkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW (yang artinya), “Berpuasalah, niscaya kamu sehat.”(HR. Ad Dailami). Bahkan dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda mengenai keutamaan puasa menyangkut kedekatan dengan Allah SWT (yang artinya), ”Jadikan perutmu lapar dan haus, serta badanmu lemah, niscaya hatimu “melihat” Allah di dunia ini.” Meski disadari lapar merupakan penderitaan bagi jasad, keadaan yang demikian mencerahkan hati dan menyucikan jiwa, membimbing ruh untuk mendekati Allah SWT.
Andai Fir’aun lapar
Orang yang mengali nilai-nilai spiritual dengan sarana lapar, agar bisa membebaskan diri dari ikatan duniawi dan mampu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT, niscaya tidaklah sama dengan mereka yang memenuhi jasadnya dengan kerakusan dan menghambakan diri kepada nafsu.
Benar kata pepatah, orang arif makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Manusia memang tidak lepas dari makanan, tapi kebajikan moral mensyaratkan mereka untuk tidak makan dan minum berelebihan. Dan yang paling efektif ialah berpuasa. “Orang yang berpikir tentang apa yang masuk ke dalam perut, hanya berharga seperti apa yang keluar dari perutnya.” Kata Imam Syafi’i.
Bagi sufi besar seperti Abu Yasid Al Busthami (wafat 261 H/874 M), lapar benar-benar merupakan sarana spiritual yang tinggi. Ketika ditanya mengapa dia sangat memuji lapar, jawabnya sangat mengejutkan.”Andai kata kala itu Fir’aun lapar, dia tidak akan mengaku sebagai tuhan yang paling tinggi. Dan jika kala itu Qarun juga lapar, nscaya dia tidak akan menentang Allah.” katanya.
Pendapat Abu Yasid selaras dengan sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya setan mengalir dalam tubuh manusia seperti darah. Maka bersihkanlah aliran darah (dari jalan setan) dengan rasa lapar.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Bukhori, dan Muslim).
Memang, semakin banyak tubuh mendapat makanan, semakin kuat kecenderungan jiwa untuk menjadi lebih rendah. Semakin cepat jiwa menjadi rendah, semakin cepat nafsu menyebar ke seluruh tubuh, sehingga melemahkan akal dan qalbu, sehingga tak mampu lagi menggapai kedekatan dengan Allah SWT. Maka ridha Allah SWT pun menjauh dan semakin menjauh. “Keinginan dan ketaatanku tergantung pada dua potong roti. Ketika makan, aku menemukan tanda-tanda dosa. Tapi ketika tidak makan, aku menemukan dasar kokoh keshalihan.” Kata Abu Al-Abbas Al-Qassab, seorang sufi besar.
Maka sufi besar lainnya, Al-Hujwiri, menyimpulkan bahwa keadaan dan rasa lapar adalah musyahadah (“menyaksikan”) Allah SWT), yang tandanya adalah mujahadah (bersungguh-sungguh). Keadaan dan rasa kenyang yang disatukan dengan musyahadah lebih baik dari pada keadaan dan rasa lapar disatukan dengan mujahadah, karena musyahadah adalah “medan perang” kaum lelaki, sementara mujahadah adalah tempat bermain anak-anak.
Itu sebabnya, sufi besar seperti Abu Sulaiman Ad-Darani berpendapat, kunci dunia adalah kenyang, sedangkan kunci akhirat adalah lapar. Sebab, keadaan dan rasa kenyang dapat mendorong syahwat dan mengobarkannya, sementara lapar mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena kekuatan menahan diri terhadap godaan duniawi dengan berbagai amalan ibadah.
Banyak makan, bagi sufi besar seperti Sahal bin Abdullah, bukanlah kebiasaan manusia yang baik. Baginya, makan sekali dalam sehari adalah makannya orang-orang baik, sedangkan makan dua kali (yaitu sahur dan buka puasa) adalah makannya orang-orang mukmin. Adapun makan tiga kali sehari, katanya, “Bagaikan orang yang mendirikan tempat makan bagi hewan.”
Bisa dimaklumi jika sufi besar seperti Yahya bin Mu’adz menyatakan, “Lapar itu ibarat cahaya yang menyinari jalan kebaikan, sementara kenyang ibarat apa yang dapat membakar syahwat, yang diibaratkan sebagai kayu yang apinya membakar pemiliknya”.

Sejarah Pengajaran Al-Quran

MAJLIS TAKLIM
WADDA’WAH
LIL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS
====================================================================
SEJARAH PENGAJARAN AL-QURAN

Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur-an. Kaum muslimin di belahan dunia manapun berusaha di bulan yang penuh berkah ini untuk membaca dan menghatamkan Al Quran. Masjid dan mushalla menjadi semarak dengan pengajian dan tadarus Al-Quran. Pagi, siang, sore, malam, kaum muslimin larut dalam bacaan Al-Quran. Ya, Ramadhan memang identik dengan Al-Quran. Sebab, di bulan inilah kitab suci paling utama ini diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran surat Al Baqarah 185 (yang artinya):”Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”.
Disamping mengkaji dan mandalami kandungan Al-Quran, tentu sangat membahagiakn jika selama Ramadhan kita bisa menghatamkan AL-Quran berkali-kali. Sebab, setiap huruf Al-Quran yang dibaca akan menghasilkan 10 kebajikan. Bisa dibayangkan, berapa jumlah pahala yang akan diperoleh jika kita menghatamkan Al Quran.
Apalagi di bulan Ramadhan, ketika setiap kebajikan yang dilakukan pahalanya dilipatgandakan berpuluh bahkan beratus kali lipat. Belum lagi ditambah keistimewaan yang dijanjikan Rasulullah SAW atas orang yang menghatamkan Al-Quran doanya saat hataman diamini 50.000 malaikat. Sungguh luar biasa!.
Namun, untuk menghatamkan Al-Quran tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain harus mengenal dengan baik huruf-huruf Hijaiyah, tentu juga dibutuhkan ketrampilan tersendiri agar dapat membaca Al-Quran secara tartil alias baik, benar, dan lancar.
Sebutan “bacaan yang baik” memiliki banyak aspek. Selain etika dalam membaca Al-Quran, kata “baik” juga menyangkut sikap terhadap Al-Quran. Dalam membaca Al-Quran, seorang muslim tak sekadar menetapi prasyarat seperti suci badan, pakaian, dan tempat, tappi juga berusaha menyucikan hati dan perasaan. Agar, saat membaca Al-Quran, yang muncul di hati adalah perasaan cinta dan penuh kerinduan kepada Sang Pemillik Al-Quran.
Karena Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), membacanya berarti berdialog dengan Allah SWT. oleh karena itu kita hendaknya membacanya secara baik dan benar, sehingga dapat merasakan bahwa setiap rangkaian hurufnya merupakan untaian syair cinta dari Sang Khaliq yang penuh hikmah dan kedalaman untuk makhluk-Nya.
Adapun ungkapan “benar” terkait masalah tajwid, yaitu hukum bacaan Al-Quran. Benar dalam membaca Al-Quran berarti benar dalam mengucapkan huruf sesuai makhraj (pengucapan, palafalan), benar dalam memanjang-pendekkan bacaan sesuai madnya, dan benar dalam mendenung-tidakkan sambungan huruf sesuai hukum bacaannya. Benar juga berarti harus tahu bagian bacaan mana yang boleh berhenti (waqaf) dan lanjutnya (wasal), atau berhenti tapi tidak boleh mengambil nafas (saktah).
Sementara sebutan “lancar” dalam membaca AL-Quran menyangkut ketekunan dalam berlatih membaca. Semakin sering membaca Al-Quran, akan semakin mengalir dan merdu pula irama bacaan kita. Semakin lancar kita membaca Al-Quran, semakin cepat pula proses penghatamannya. Dan semakin cepat khatam dan mengulangnya lagi dari awal, semakin banyak pula kesempatan kita memperoleh pahala khataman Al-Quran.
Dalam rangka mendidik umat Islam agar mampu membaca Al-Quran dengan baik, benar, dan lancara itulah, para ahli Quran (sebutan bagi mereka yang menguasai rahasia Al-Quran) membuka pengajaran membaca Al-Quran. Dua-duanya, baik yang belajar maupun yang mengajar Al-Quran, disebut Nabi sebagai “umat terbaik”. Diriwyatkan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.”(HR. Abu Ubaid).

Tatap Muka dengan Jibril
Sejak kapan proses pengajaran Al-Quran berlangsung? Siapa guru-murid pertama dalam ta’limul Quran ini? Bagaimana perkembangan pengajaran Al-Quran dari masa ke masa? Sebagai firman Allah Ta’ala, yang pertama kali mengajarkan Al-Quran adalah Allah SWT sendiri, kepada Malalikat Jibril. Kapan waktu pengajaran AL-Quran yang pertama kali ini, hanya Allah jualah yang Maha Mengetahui.
Dari Malaikat Jibril, kemudian Al-Quran disampaikan, atau diajarkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW secara talaqqi. Sistem talaqqi, yang juga lazim disebut mushafahah, adalah metode pengajaran di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung, individual, tatap muka, face to face.
Tak hanya mengajarkan ayat-ayat baru, secara rutin Malaikat Jibril juga mengunjungi Nabi untuk memeriksa hafalan dan bacaan beliau. Diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Jibril mengajariku membaca Al-Quran setahun sekali. Dan tahun ini ia telah membacakan Al-Quran dua kali padaku. Aku menduga, ini pertanda ajalku sudah dekat”.(HR. Bukhari).
Kunjungan Jibril diperlukan, sebab ayat-ayat Al-Quran tidak diturunkan sekaligus dalam urutan seperti yang sekarang termaktub dalam mushaf Al-Quran. Al-Quran turun secara berangsur-angsur selama masa kenabian beliau, dengan urutan yang acak sesuai asbabun nuzul (sebab turunnya suatu ayat) sebagaimana telah ditakdirkan Allah SWT. Ayat Al-Quran yang pertama kali turun, yakni ayat 1-5 Surah Al’Alaq, kini menempati urutan surah ke 96 dari jumlah 114 surah yang diturunkan.
Metode Talaqqi dalam pengajaran ayat-ayat yang belum dihafal, dan pengulangan hafalan untuk menguatkan dan melancarkan sebagaimana dicontohkan oleh Malaiakt Jibril dan Rasulullah SAW, itulah yang kemudian menjadi cetak biru (blue print) sistem pengajaran Al-Quran di dunia Islam hingga kini. Di Indonesia, metode talaqqi dikenal dengan sebutan sistem sorogan Al-Quran, untuk membedakannya dengan sorogan kitab kuning.
Murid angkatan Pertama
Tradisi Jibril membacakan ayat-ayat Al-Quran secara rutin kepada Nabi SAW, dan memeriksa bacaan secara urutan ayat dan surah yang beliau hafal, kini menjadi tradisi di pesantren-pesantren Al-Quran di Jawa, dan disebut takriran atau nderes.
Ada juga tradisi sema’an, yaitu seorang hafizh (penghafal Al-Quran) menjaga hafalannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran di hadapan orang banyak yang menyimaknya sambil membuka mushaf Al-Quran untuk memeriksa kebenaran bacaan tersebut.
Setelah dua fase pertama – dari Allah ta’ala kepada Malaikat Jibril, dan dari Jibril kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur – dimulailah pengajaran Al-Quran secara umum kepada umat manusia. Urutan orang-orang yang belajar Al-Quran sama persis dengan urutan orang-orang yang masuk Islam. Sebab, ketika menyatakan keislaman, saat itu pula mereka langsung mempelajari ayat demi ayat Al-Quran.
Orang pertama yang belajar dan menghafal ayat-ayat suci Al-Quran setelah Baginda Nabi adalah Sayyidah Khadijah. Lalu disusul oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi), Abu Bakar Shiddiq (sahabat terdekat Nabi), Zaid bin Haritsah (pembantu keluarga Nabi). Abu Bakar kemudian membawa teman-teman dekatnya untuk masuk Islam dan mempelajari Al-Quran. Antara lain, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Mereka itulah murid angkatan pertama madrasah Al-Quran yang didirikan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. Mereka pulalah yang pertama kali merasakan sentuhan sistem pendidikan kenabian yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Melalui qalbu yang bersih angkatan pertama umat Islam inilah, cahaya Al_Quran memancar menerangi alam semesta. Sungguh mereka sangat beruntung.
Ketika jumlah umat Islam di Makkah semakin bertambah, Rasulullah mulai membagi tugas mengajarkan Al-Quran kepada beberapa sahabat yang dipandang memiliki kemampuan lebih. Dalam kitab Thabaqat, karya Ibnu Sa’ad, As-Siyar wal Maghari, karya Ibnu Ishaq, At-Taratib Al-Idariyah, karya Kattani, dan Sirah Ibnu Hisyam, tercatat nama beberapa sahabat yang pernah ditugasi oleh Baginda Nabi untuk mengajar Al-Quran.
Para sahabat yang beruntung itu adalah Abdullah bin Mas’ud, yang mengajar secara umum di Makkah, Khabbah yang mengajar pasangan suami-istri Fatimah bin Khaththab dan Sa’id bin Zaid, dan Mush’ab bin Umair, yang diperintahkan oleh Baginda Nabi untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah beberapa waktu sebelu hijrah. Ada juga nama Rafi’ bin Malik Al-Anshari yang disebut-sebut sebagai sahabat yang pertama kali membawa surah Yusuf ke Madinah, sebelum masa hijrah.
Karena melalui utusan-utusan terpilih, pengajaran Al-Quran dengan sistem pendelegasian itu pun berhasil dengan gemilang. Ketika hijrah ke Madinah, misalnya, Rasulullah SAW diperkenalkan dengan Zaid bin Tsabit, anak berusia 11 tahun yang ketika itu telah menghafal 16 surah Al-Quran. Belakangan, remaja cerdas itu semakin dekat dengan Baginda Nabi, karena dipercaya menjadi salah seorang pencatat wahyu.
Setelah pembangun Masjid Nabawi usai, Rasulullah SAW memerintahkan pembangunan suffah, semacam beranda di samping masjid, dan menjadikannya sebagai pusat pengajaran Al-Quran, sekaligus tempat belajar baca tulis kaum muslimin. Tak kurang dari 900 sahabat mendaftar sebagai murid di suffah tersebut.
Selain Rasulullah SAW yang mengajar Al-Quran, beberapa sahabat lain seperti Abdullah bin Sa’id bin Al-‘Ash, Ubadah bin Ash-Shamit, dan Ubay bin Ka’ab, membantu mengajar AL-Quran dan baca tulis untuk para sahabat yang masih buta huruf. Pengajaran di suffah itu sangat istimewa, karena ditangani langsung oleh baginda Nabi SAW. Abdullah bin Umar memberi gambaran cara Nabi mengajar, “Beliau membacakan Al-Quran kepada kita, setiap kali sampai pada ayat sajdah, yang menyuruh bersujud, beliau mengucap takbir, lalu bersujud.”(HR. Muslim)
Dalam kitab Al-Intishar, karya Al-Baqillani, dikisahkan, Utsman bin Abil’Ash menceritakan, ia selalu ingin mengaji langsung kepada Rasulullah SAW. Jika sedang tidak bisa menemui beliau, Utsman mendatangi rumah Abu Bakar Shiddiq.
Abdullah bin Mughaffal mengisahkan, jika ada orang baru masuk Islam hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW menyuruh salah seorang Anshar menampung di rumahnya dan mengajarinya Al-Quran serta pengetahuan keislaman lainnya.
Dalam kitab Fadhail diriwayatkan oleh Abu Ubaid, para sahabat juga sering berkumpul di masjid untuk saling bertukar ilmu dan mengajarkan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya.
Selain para sahabat di Madinah, juga ada beberapa sahabat ahlul Quran yang dikirim oleh Baginda Nabi ke berbagai daerah untuk mengajar. Misalnya, Mu’adz bin Jabbal, yang dikirm ke Yaman, Abu Ubaid, diutus ke Najran, dan Wabra bin Yuhanna ditugasi ke Shan’a.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu bakar Shiddiq, pengajaran Al-Quran diteruskan oleh para sahabat utama. Saat itu di Madinah dan Makkah saja terdapat ratusan penghafa Al-Quran, yang setiap saat siap membagi pengetahuan mereka. Namun, dalam perang untuk menumpas nabi palsu di Yamamah, hampr ssepertiga dari ratusan penghafal Al-Quran itu gugur sebagai syahid. Peristiwa inilah yang kemudian melatarbelakangi pembukuan Al-Quran ata perintah Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq.
Para penghafal Al-Quran yang tersisa kemudian menurunkan ilmu kepada generasi berikutnya, baik yang tingal di Madinah dan Makkah maupun di kota dan negeri-negeri lain yang baru dibebaskan oleh kaum muslimin. Di antara mereka bahkan ada yang berkelana hingga jauh ke timur, seperti Sa’ad bin Abi Waqash, yang mengembara hingga ke Cina.
Qira'ah Sab’ah
Karena tempat pengajaraannya tidak lagi terpusat di Madinah, belakangan muncul beberapa kesalahan bacaan yang dilakukan oleh murid-murid sahabat yang tinggal jauh dari Makkah dan Madinah. Karena dianggap membahayakan, Khalifah Utsman bin Affan dan para sahabatnya berinisiatif membakukan penulisan dan ejaan Al-Quran dalam dialek Quraiys, Utsman pun membentuk tim beranggotakan 12 orang, dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.
Dari hasil kerja tim tersebut, lahirlah mushaf dengan rasm (ejaan) Utsmani yang menjadi panduan baku dalam penulisan Al-Quran. Seluruh mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani dimusnahkan, untuk menghilangkan potensi perbedaan di kemudian hari. Al-Quran rasm Utsmani itu pula yang kemudian diajarkan secara turun-termurun kepada umat Islam hingga saat ini.
Dari hasil didikan para sahabat tersebut, bermunculan ulama ahlul Quran dari kalangan tabi’in, seperti Muslim bin Jundub, yang belajar dari Abdullan bin Abbas dari Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin SA’ib Al-Mazumi, yang mendapat pengajaran Al-Quran dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khaththab, Hasan Al-Bashri, yang mendapat pengajaran AL-Quran dari Abu Aliyah dari Umar bin Khaththab; Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi, yang mempelajarinya dari Utsman bin Affan; Abdullah bin Hubaib Al-Silmi, yang mendapatkannya dari lima sahabat besar ahlul Quran, yaitu Ibn Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay, dan Zaid bin Tsabit; dan masih banyak lagi.
Meski ejaan Al-Quran telah diseragamkan, dalam praktek pengajarannya setelah era sahabat muncul perbedaan qiraat (dialek, pengucapan, lafadz) dalam Al-Quran. Berbeda dengan kasus perbedaan ejaan pada masa Khalifah Utsman, perbedaan dialek tidak menyebabkan perbedaan makna atau perubahan ejaan, bahkan kemudian tumbuh menjadi kekayaan khazanah keilmuan Islam.
Belakangan, meski berkembang menjadi 10 qiraat (ada yang berpendapat 12 dan 20 qiraat), ada tujuh dialek (qiraat sab’ah) yang paling populer dan hingga kini terus dipelajari. Masing-masing qiraat kemudian dikenal dengan nama para imam besar dikalangan tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya yang mengajarkannya.
Mereka adalah Imam Nafi’ bin Nu’aim, lahir di Madinah, 70 H, dan wafat di Isfahan pada 169 H, mempunyai sanad Al-Quran yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW melalui Abdurrahman bin hurmuz dari Muslim bin Jundub; Imam Abdullah ibn Katsir Al-Makki (45-120 H), sanadnya melalui Abdullah bin Saib Al-Mazumi; Imam Abu Amr bin Al-Ala (68-154 H), sanadnya melalui Hasan Al-Bashri; Imam Abdullah bin Amir Al-Yahsubi (21-118 H), sanadnya melalui Al-Mughirah bin Abi Syihab; Imam ‘Ashim bin Abin Nujud Al-Asadi Al-Kufi (wafat 127 H), sanadnya melalui Abdullah bin Hubaib As-Silmi; Imam Hamzah bin Habib Al-Kufi (80-156 H), sanadnya melalui Sulaiman bin Himran dri Yahya bin Wasab; dan Imam Ali bin Hamzah Al-Kisai (119-189 H), guru mengaji keluarga Harun Ar-Rasyid, sanadnya bertemu dengan Imam ‘Ashim melalui Hamzah, dari Isa bin Umar.
Disadur dengan sedikit perubahan dari majalah al-Kisah no.19/Tahun VI/2008

























Powered By Blogger