Tuesday, January 8, 2008

Software Bajakan

Undang-undang Hak Cipta secara sejarah Islam awalnya memang belum dikenal, karena umumnya filosofi para penemu dan pencipta termasuk pengarang karya-karya besar dalam Islam hanya bertujuan untuk mendapat ridha dan pahala dari Allah semata. Sama sekali jauh dari tujuan materi dan kekayaan.
Karena itu dalam literatur klasik fiqih Islam, kita tidak mengenal hak cipta sebagai sebuah hak milik yang terkait dengan kekayaan finansial. Justru semakin dibajak atau ditiru akan semakin banggalah dia dan semakin banyak pahalanya. Selain itu juga ada rasa kepuasan tersendiri dari segi psikologisnya. Apa yang mereka lakukan atas karya-karya itu jauh dari motivasi materi / uang. Sedangkan untuk penghasilan, para ulama dan ilmuwan bekerja memeras keringat. Ada yang jadi pedagang, petani, penjahit dan seterusnya. Mereka tidak menjadikan karya mereka sebagai tambang uang.
Karena itu kita tidak pernah mendengar bahwa Imam Bukhori menuntut seseorang karena dianggap menjiplak hasil keringatnya selama bertahun-tahun mengembara keliling dunia. Bila ada orang yang menyalin kitab shohihnya, maka beliau malah berbahagia. Begitu juga bila Jabir Al-Hayyan melihat orang-orang meniru / menjiplak hasil penemuan ilmiyahnya, maka beliau akan semakin bangga karena telah menjadi orang yang bermanfaat buat sesamanya.
Hak cipta barulah ditetapkan dalam masyarakat barat yang mengukur segala sesuatu dengan ukuran materi. Dan didirikan lembaga untuk mematenkan sebuah ?penemuan? dimana orang yang mendaftarkan akan berhak mendapatkan royalti dari siapa pun yang meniru / membuat sebuah formula yang dianggap menjiplak.
Kemudian hal itu menjalar pula di tengah masyarakat Islam dan akhirnya dimasa ini, kita mengenalnya sebagai bagian dari kekayaan intelektual yang dimiliki haknya sepenuhnya oleh penemunya.
Berdasarkan `urf yang dikenal masyarakat saat ini, maka para ulama pada hari ini ikut pula mengabsahkan kepemilikan hak cipta itu sebagaimana Ketetapan (Qoror) dari Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami, sebuah forum yang terdiri dari para ulama kontemporer yang bermarkaz di Jeddah Saudi Arabia.
Ketetapan (Qoror) dari Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami menyebutkan bahwa secara umum, hak atas suatu karya ilmiyah, hak atas merek dagang dan logo dagang merupakan hak milik yang keabsahaannya dilindungi oleh syariat Islam. Dan merupakan kekayaan yang menghasilkan pemasukan bagi pemiliknya. Dan khususunya di masa kini merupakan `urf yang diakui sebagai jenis dari suatu kekayaan dimana pemiliknya berhak atas semua itu. Boleh diperjual-belikan dan merupakan komoditi. (lihat Qoror Majma` Al-Fiqh Al-Islami no.5 pada Muktamar kelima 10-15 Desember 1988 di Kuwait).
Namun dalam prkatek kesehariannya, ada juga hal-hal yang perlu diperhatikan selain demi kemashlahatan para pemilik hak cipta itu, yaitu hak para konsumen yang ternyata juga terhalang haknya untuk mendapatkan karya yang seharusnya.
Utnuk itu ada jawaban tentang pertanyaan senada dalam situsi ini pernah kami tampilkan. Menurut hemat kami, wacana ini penting pula untuk diperhatikan agar terjadi keadilan dalam setiap sisinya.
Misalnya masalah perampasan pematenan hak cipta serta monopoli produk.
Kasus Perampasan Pematenan
Kasus pematenan pembuatan tempe beberapa waktu yang lalu oleh pihak asing adalah contoh hal yang naif tentang dampak negatif pematenan ini. Bagaimana mungkin tempe yang entah sudah berapa generasi menjadi makanan orang Indonesia, tiba-tiba dipatenkan oleh orang dari luar negeri atas namanya. Jadi bila nanti ada orang Indonesia membuat pabrik tempe yang besar dan bisa mengekspor, harus siap-siap diklaim sebagai pembajak oleh mereka. Karena patennya mereka yang miliki.
Jadi setiap satu potong tempe yang anda makan, sekian persen dari harganya masuk ke kantong pemegang paten. Padahal mereka barangkali tidak pernah makan tempe. Dalam kasus seperti ini, bagaimana mungkin kita dikatakan sebagai pencuri hasil karya mereka ? Padahal tempe adalah makanan kebangsaan kita, bukan ? Sehingga nama tempe begitu akrab di telinga dan entah karena motivasi apa, kita sering menyebut kita ini sebagai bangsa tempe.
Monopoli Produk
Dalam perkembangan berikutnya, yang perlu dicermati dalam masalah hak cipta dan hak paten ini adalah kecenderungan ke arah monopoli produk. Karena begitu sebuah perusahaan memegang hak paten atas formula produknya, secara hukum hanya mereka yang berhak untuk memproduksi barang tersebut atau memberikan lisensi. Dan otomatis, mereka pulalah yang menentukan harga jualnya. Bila ada orang yang menjual produk yang sama tanpa lisensi dari pihak pemegang paten, maka kepada mereka hanya ada dua pilihan, bayar royalti atau didenda.
Masalahnya timbul bila pemegang paten merupakan perusahaan satu-satunya yang memproduksi barang tersebut di tengah masyarakat dan tidak ada alternatif lainnya untuk mendapatkan barang dengan kualitas sama, padahal barang itu merupakan hajat hidup orang banyak. Bila pemegang hak paten itu kemudian menetapkan harga yang mencekik dan tidak terjangkau atas barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, maka jelas telihat unsur ketidak-adilannya.
Dengan kata lain, produsen itu ingin mencekik masyarakat karena mereka tidak punya pilihan lain kecuali membeli dengan harga yang jauh di atas kemampuan mereka.
Kasus Microsoft
Dalam kasus software bajakan, memang microsoft termasuk software yang paling banyak dibajak di Indonesia. Bahkan bisa jadi jumlah software bajakannya melebihi aslinya. Hal ini karena didukung oleh lemahnya pengawasan masalah pembajakan dan kurangnya kesadaran hukum para pengguna komputer di Indonesia. Termasuk pengguna muslimnya.
Kalau kita jujur dengan hukum syariat Islam yang berkembang sekarang ini, maka menggunakan produk software bajakan termasuk hal yang dilarang dalam syariat. Karena biar bagaimana pun hak ciptanya ada pada perusahaan tersebut. Kalau ingin menggunakannya, maka satu-satunya jalan adalah dengan membeli aslinya (original) baik FPP (Full Package Product) maupun OEM (Original Equipment Manufacturer). Harganya tentu lumayan mahal bisa mencapai ratusan dollar atau sekian juta rupiah. Bahkan mungkin bisa melebihi harga hardwarenya.
Padahal software bajakannya harganya hanya Rp. 15 s/d 20 ribu saja, itupun sudah lengkap Windows dengan Office-nya. Bahkan berisi sekian versi dari 98, 98 SE, W2000, Me dan Xp. Bahkan setiap pembelian hardware komputer, biasanya sudah diinstallkan sekalian dengan windows dan office-nya. Seolah software itu tidak ada harganya.
Dan sayangnya lagi, para pengguna muslim baik individu maupun lembaga yang berlabel Islam seperti yayasan, organisasi, pengajian, madrasah, perguruan tinggi sampai partai Islam sekalipun menggunakan software BAJAKAN yang terang-terangan dilarang. Sebenarnya ini adalah kontradiksi, karena sebagai lembaga yang mengusung nama Islam, tentunya harus konsekuen dengan hukum dan syariat Islam.
Barangkali para pengguna produk bajakan itu ingin beralasan bahwa microsoft itu kan milik orang non muslim. Atau beralasan bahwa produk asli itu kan mahal sekali sehingga tidak mampu untuk membelinya sehingga menjadi darurat.
Kedua alasan itu sebenarnya bisa dijawab demikian :
· Bahwa sebuah produk itu milik non muslim tidak berarti kita boleh mengambilnya atau membajaknya, karena Islam menjamin hak milik orang non muslim dan menghormatinya. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pun harus melakukan proses jual beli dengan para Yahudi di Madinah, padahal kekusaan di tangan beliau. Kalau memang hak milik non muslim itu halal diambil dan dibajak, maka mengapa Rasulullah SAW tidak menyita semua barang dagangan yahudi saja ?
· Hukum darurat itu hanya berlaku bila tidak ada alternatif lainnya yang bisa menjadi solusi dalam suatu perkara. Itu pun tetap dalam batas yang diperlukan saja. Sedangkan dalam kasus software dan sistem operasi komputer, masih banyak pilihan lainnya yang bisa dilakukan dan nyaris tanpa biaya alias gratis. Yaitu berhijrah dari windows ke Linux.
Linux sendiri adalah sistem operasi dan software yang bersifat open source alias gratis digunakan oleh siapa saja. Sourcenya bisa didownload di internet secara gratis pula. Sedang kemampunannya, nyaris hampir mendekati windows meksi tidak terlalu sempurna. Tapi kalau sekedar mengambil alih peranan office-nya microsoft, open office-nya Linux sudah bisa diandalkan. Yang perlu tinggal kesadaran dan kemauan dari para penentu kebijakan dari tiap lembaga itu untuk melakukan perpindahan DARIWINDOWSKELINUX . Sesuai dengan nama sebuah situs yang khusus bicara masalah itu yaitu www.dariwindowskelinux.com.
Jadi menurut hemat kami, jalan keluar masih ada dan kata darurat masih belum bisa diberlakukan. Karena masih ada alternatif lain yaitu dengan menggunakan OS lainnya yang malah gratis. Yang diperlukan hanya satu, kesiapan mental kita untuk berani beralih ke sesuatu yang lebih jelas hukumnya daripada tidak jelas.
Powered By Blogger